Mohon tunggu...
Widz Stoops
Widz Stoops Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Penulis buku “Warisan dalam Kamar Pendaringan”, Animal Lover.

Smile! It increases your face value.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan dalam Kamar Pendaringan

8 Maret 2023   07:56 Diperbarui: 8 Maret 2023   07:58 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul Buku Warisan Dalam Kamar Pendaringan by Yudi Irawan (Dok.pri)

Emek. Begitu panggilan saya kepada Ibu saya. Panggilan ini berawal sewaktu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Industri Pariwisata dan Bahasa Perancis merupakan salah satu kurikulum di Sekolah kala itu. Saking  semangatnya ingin lancar berbahasa Perancis, saya mempraktikkannya dalam pembicaraan sehari hari meski hanya sepatah dua patah kata, seperti memanggil Ibu saya dengan sebutan mre yang dalam Bahasa Indonesia artinya adalah ibu.

Seiring berjalannya waktu, minat saya akan Bahasa Perancis menyusut dan entah mengapa panggilan mre kepada Ibu lambat laun berubah menjadi Mek, dan akhirnya Emek. Lucunya, tidak hanya saya tapi semua orang kemudian memanggil Ibu saya dengan sebutan Emek. Mulai dari kakak saya, adik, keluarga besar, tetangga, dan siapapun yang kenal dekat  dengan beliau.

Tidak seperti Emek, memasak dan menjahit bukanlah kegiatan favorit saya. Meski saat sekolah dulu setiap ada perlombaan memasak, kelompok saya pasti selalu memenangkannya. Saya juga ingat baju anak-anak hasil jahitan saya waktu pelajaran tata busana di SMP dulu pernah terpilih untuk diikut sertakan dalam pameran busana di sekolah. Sayangnya, saya memang tidak pernah menekuni kedua hal tersebut di atas.

Pada suatu pagi saya menghubungi kakak di tanah air. Kami berdiskusi berbagai macam hal, termasuk kondisi Emek, terutama ingatannya yang kian menurun. Maklum, usia beliau kini hampir 90 tahun. Dalam perbincangan, saya juga sempat mengutarakan penyesalan saya yang kurang  berinisiatif mengumpulkan resep-resep masakan Emek saat ingatan beliau masih kuat. Ternyata penyesalan yang sama juga dirasakan kakak saya.

Akhirnya kami memutuskan  untuk menggabungkan resep yang sempat kami berdua dapatkan dari Emek, itupun jumlahnya hanya 15 resep. Rencananya saya akan menyusun dan mencetaknya sendiri di rumah untuk kemudian saya bagikan kepada anak-anak Emek lainnya, yah, anggap saja itu sebagai warisan dari beliau.

Ketika sedang menyusun resep-resep yang ada, pikiran saya melayang pada sebuah event menulis yang pernah saya ikuti di tahun 2020, saat itu Kompasiana bekerja sama dengan Kemendibud menyelenggarakan lomba menulis dalam rangka memperingati Hari Ibu dan saya sama sekali tidak pernah menduga kalau bakal terpilih sebagai pemenang pertama (baca di sini).

Satu hal yang tidak terlupakan  adalah saat saya membacakan artikel yang saya lombakan itu kepada Emek (baca di sini), lalu mengatakan kepadanya kalau saya telah memenangkan lomba tersebut. Beliau menangis. Haru dan bahagia bercampur menjadi satu terpancar di wajahnya, meski tidak banyak kata keluar dari mulutnya, hanya ucapan singkat, "Terima kasih, yaa".

Pancaran wajah itu yang sekarang saya rindukan. Bagaimana saya dapat menikmatinya lagi? Otak saya berputar. Kerinduan akan Emek semakin dalam.

Walau cuma ada 15 resep yang berhasil saya kumpulkan, bagi saya, ini bukan sekedar resep, karena saat Emek menurunkannya kepada saya dan kakak saya, beliau juga menyelipkan cerita dan wejangan di dalamnya. Akhirnya terbersitlah ide untuk membukukan resep-resep Emek beserta cerita dan wejangannya itu.

Buku tersebut saya beri judul "Warisan dalam Kamar Pendaringan" saya dedikasikan untuk Emek dengan harapan saya dapat kembali menikmati wajah haru bercampur bahagianya itu.

Kendalanya, saya belum pernah menulis buku sendiri. Karya-karya saya sebelumnya merupakan "buku keroyokan" atau buku yang saya tulis bersama para penulis-penulis lainnya. Namun pada akhirnya saya memutuskan "what the heck" yang penting nulis aja dulu!

Setelah draft tulisan selesai, saya merasa masih banyak kekurangan dan sangat tidak pede untuk menjadikannya sebagai sebuah buku. Saya lalu memberanikan diri menghubungi salah satu Kompasianer yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia literasi, Daeng Khrisna Pabichara atau Daeng KP. Sebelum menghubungi beliau, tentunya saya sudah mempersiapkan mental karena saya yakin beliau akan menertawakan draft tulisan saya.

Keyakinan saya ternyata salah!

Daeng KP justru mengatakan bahwa ide buku resep masakan saya adalah sesuatu yang unik, meski banyak isinya yang harus dipertajam. Beliau juga menyarankan agar saya menambah materi yang dapat menciptakan jalinan emosional. 

Ketika saya memintanya untuk menyunting isi buku saya, tanpa ragu beliau mengiyakan. Tidak hanya itu, Daeng KP juga memperkenalkan saya kepada kedua orang kawannya yang kemudian membantu saya dalam pembuatan sampul dan lay out buku.

Saat masih dalam proses, saya sempat berbincang-bincang dengan Kompasianer lainnya, yang saya anggap sebagai "Abang" saya di dunia literasi. Tempat saya curhat. Abang saya satu ini selalu bersedia menampung  berbagai macam curhatan saya, meski "sampah" sekalipun, he .. he .. Beliau adalah Acek Rudy, saya memanggilnya Koh Rudy.

Ketika draft tulisan saya sodorkan kepadanya ternyata tanggapan beliau hampir senada dengan Daeng KP bahwa ide tulisan saya unik dan menarik. Beliau bahkan menyarankan agar saya mengajukannya ke penerbit mayor.

"Aku bantu ajuin ke Gramed, ya?" Begitu kata Koh Rudy saat itu.

"Enggak ah, takut ditolak, Koh" Tanggap saya.

"Coba aja dulu!" Koh Rudy meyemangati.

Akhirnya sayapun mengiyakan.

Seminggu kemudian ada WA masuk dari Koh Rudy.

"Congratz yaa .. Good news"

Dalam chat WAnya Koh Rudy menyertakan hasil evaluasi Mbak Retno dari Elex Media Komputindo tentang draft tulisan saya

1.    Bahasa mengalir, cara penyampaian cerita sangat khas dan detil.
2.    Bikin penasaran. Ada keinginan pembaca untuk terus dan terus melihat halaman berikutnya.
3.    Masing2 karakter tokoh pelaku diceritakan dengan apik.
4.    Sangat bagus memadukan fiksi dan sejarah (latar belakang).
5.    Sebetulnya yang ingin disampaikan 'resep' tetapi mampu memadukan dengan kisah nyata                                                     bagaimana Emek meramu dan mempersiapkan masakan untuk keluarganya.

6.    Pelajaran hidup yang dapat dicontoh, misalkan bagaimana kita saling mengasihi dalam keluarga, bagaimana kita menempatkan dan menghormati orangtua (khususnya Ibu).

7.     Kisah Warisan dalam Kamar Pendaringan mampu menumbuhkan rasa syukur kepada Tuhan.

Sambil memberikan nomer telpon Mbak Retno, Koh Rudy kemudian menyarankan agar saya berhubungan langsung dengan Beliau.

Ah, sepertinya buku ini memang telah menemukan jalannya sendiri.

Singkat cerita, buku perdana saya Insya Allah sudah masuk di toko-toko buku Gramedia menjelang akhir bulan ini. Bagi yang ingin memilikinya sekarang, silahkan hubungi saya lewat fitur percakapan di Kompasiana ini ya. Sepuluh persen dari penjualan buku nantinya akan saya donasikan untuk Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3 di Ciracas. Semoga berkenan.

Widz Stoops, PC-USA  03.08.2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun