Mohon tunggu...
Widz Stoops
Widz Stoops Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Penulis buku “Warisan dalam Kamar Pendaringan”, Animal Lover.

Smile! It increases your face value.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Supraptiah, Guru Terhebatku!

16 November 2020   23:48 Diperbarui: 17 November 2020   00:54 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membesarkan enam orang anak bukanlah satu hal yang mudah bagi seorang ibu, siapapun itu. Apalagi bila keadaan ekonomi keluarga sedang morat-marit dikala karir suami terpuruk.

Satu pelajaran terpenting yang kudapat dari Ibu Supraptiah adalah beliau tidak pernah membiarkan keadaan susah mendikte hidupnya dan masa depan anak-anaknya. Beliau yakin garis perak itu akan selalu menyembul dibalik awan hitam.

Karena ibu Supraptiahlah anak-anaknya pertama kali mengenal warna-warna, jenis-jenis binatang, huruf-huruf alfabet, angka-angka hingga cara berhitung sederhana. Bahkan ketika anak-anak sudah mulai bersekolah, ia masih tetap membantu mereka mengerjakan tugas sekolah.

Keterlibatannya dalam membantu tugas sekolah anak-anaknya terhenti ketika pelajaran mereka sudah di luar batas kemampuannya. Maklum, pendidikan ibu Supraptiah hanyalah sebatas SR (baca: Sekolah Rakyat, kini setaraf dengan Sekolah Dasar), bahkan itupun tidak tamat.

Ibu Supraptiah ditinggal mati oleh ibunya saat adik-adiknya masih kecil.  Beliau menggantikan posisi sang ibu, mengurus rumah, memasak dan mengasuh adik-adik. Ya, ibu Supraptiah rela mengorbankan pendidikannya karena ingin adik-adiknya tetap terus bersekolah tanpa harus mengkhawatirkan segala urusan rumah.

Pengorbanan juga dilakukan setelah ia menikah. Demi membiayai kehidupan sehari-hari ditambah biaya sekolah anak-anak pada saat tidak ada pemasukan dari suami, ibu Supraptiah kerap melakukan pekerjaan serabutan. Apa saja dilakoninya, dari mulai mengambil jahitan, kuli masak di pesta-pesta perkawinan hingga berjualan kue yang dibuatnya sendiri.

Dari sanalah anak-anaknya belajar tentang nilai-nilai kerja keras guna mencapai segala apa yang mereka inginkan. Melalui kerja keras, anak-anaknya mengerti akan arti disiplin dan mengatur waktu. Ini menjadi pelajaran penting terutama bagi anak perempuannya untuk selalu mandiri namun disaat yang bersamaan juga tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita.

Bersenda gurau bersama keluarga merupakan momentum yang indah bagi ibu Supraptiah dan keluarganya. Dalam keadaan susahpun beliau tetap mengajarkan bagaimana cara mensyukuri nikmat kehidupan.

"Hidup sudah susah jangan dibuat tambah susah" begitu kira-kira pedoman sederhana hidupnya.

Selalu berbagi dan berbuat baik adalah pelajaran lain yang diajarkan ibu Supraptiah kepada anak-anaknya. Apabila ada rezeki lebih, baik itu berupa makanan, uang atau pakaian, ia tak pernah sedikitpun sungkan membagikannya kepada mereka yang kurang beruntung.

Meski tidak pernah mendengar istilah keren yang dicanangkan oleh Henry David Thoreau di era tahun 1800-an, " Goodness is the only investment that never fails", tapi beliau hafal betul petuah yang diwariskan oleh kedua orang tuanya, "Rezeki tidak akan lari. Tetaplah berbagi karena kebaikan ini akan menolong kita suatu hari nanti". Amanah tersebut lalu diteruskan Ibu Supraptiah kepada anak-anaknya.

Tak cuma itu, bertoleransi dalam kehidupan beragamapun selalu diterapkannya. Menjelang Natal dan tahun baru, ibu Supraptiah mengerahkan anak-anak untuk membantu membuat kue,  kemudian mengantarkannya ke para tetangga serta kerabat yang merayakan Natal.

Ibu Supraptiah juga tak segan-segan membimbing semua anaknya mentaati cara bersopan santun. Ia pernah memarahi anak perempuannya ketika lupa mencium tangan neneknya saat datang berkunjung.

Tidak ada kata lemah dalam kamus hidupnya. Suatu ketika anak perempuannya yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar mengalami perundungan dari teman-temannya karena pipinya yang gembil. Ibu Supraptiah dengan lembut mengatakan kalau bentuk pipi tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang  keturunan Raja Kebembem dan disitulah letak lambang kejayaan mereka.

Perkataan lembut ibu Supraptiah begitu tegas terngiang di kuping anak perempuannya yang  kemudian menjadi kekuatan baginya. Sejak itu apabila ada yang mengejek, ia tak pernah lagi menangis tapi justru membalas ejekan tersebut dengan mengatakan "Biarin, ini memang lambang kejayaanku!"

Perundungan lain yang pernah dialami anak perempuannya adalah karena cadel, tak mampu menyebut huruf "r". Mendengar pengaduan dari anaknya, dengan tersenyum beliau hanya berkata kalau orang hebat seperti Presiden Amerika juga tidak bisa menyebut huruf 'r'.

Semenjak itu anak perempuannya tak pernah lagi merasa minder jika terus-menerus diejek. Ia berubah menjadi perempuan yang penuh percaya diri. Dibenaknya ia yakin cuma orang-orang hebat yang berbicara cadel seperti dirinya.

Ibu Supraptiah mendidik keenam anaknya dengan penuh integritas, cinta dan kasih sayang. Dari ibu Supraptiah, anak-anaknya belajar menjadi pemimpin yang sukses, yaitu pemimpin yang selalu memberikan kesempatan kepada para pengikutnya untuk menjadi orang-orang yang berhasil..

Dalam struktur keluarga dan struktur organisasi, pelajaran itu adalah benar. Sebagai seorang ibu, ia telah menerapkannya dengan selalu menempatkan anak-anaknya sebagai prioritas utama, agar kelak mereka dapat dengan sukses meraih cita-cita yang diinginkan.

Aku adalah salah satu dari keenam anak ibu Supraptiah. Wanita sederhana yang kini berusia hampir 90 tahun dan yang dalam kesehariannya dipanggil  dengan sebutan 'eme' oleh keenam anaknya itu, adalah ibu kandungku.

Walau akhirnya aku menyadari bahwa ternyata aku bukanlah seorang yang berasal dari keturunan raja. Dan cerita ibu tentang Raja Kebembem itu sebenarnya hanyalah isapan jempol belaka. Tapi justru disitulah titik awal dimana aku menjadi anak perempuan yang berkepribadian kuat.

Sampai detik ini aku memang masih cadel dan belum mampu menyebut huruf yang satu itu, sama halnya aku belum mampu menjadi orang hebat seperti Presiden Amerika.

Tapi aku berharap beliau bangga akan karirku sekarang ini di negeri Paman Sam. Seperti halnya aku bangga pada ibu Supraptiah, ibuku sekaligus guru terhebat di Sekolah Pertamaku!

Semoga kisah nyata ini menginspirasi tidak hanya untuk para ibu di luar sana tapi juga anak-anak yang mengalami perundungan. Jadikanlah kekurangan atau kelemahan itu sebagai titik kekuatan dalam kepribadian kita.

Salam.

Artikel ini ditulis oleh Widz Stoops untuk blog kompetisi Kompasiana.

USA, November 16, 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun