“Semakin tinggi kepercayaan warga negara kepada pemerintah, pengadilan dan sistem hukum, semakin tinggi motivasi intrinsik Wajib Pajakuntuk mematuhi dan menerapkan Moralitas Pajak”.(Beno Torgler, Tax Morale and Institution, 2003)
Musyawarah Nasional dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama(NU) di Pondok Pesantren Kempek Palimanan, Cirebon (17/9/2012) menghasilkanrekomendasi, antara lain menyangkut perlu nya keseriusan pemberantasan korupsi dan dukungan untuk memberikan ancaman hukuman mati bagi para koruptor.Pada kesempatan itu NU juga menyatakan akan memboikot pemungutan pajak apabila pajak terus dikorupsi oleh aparatur pajak.Apabila pajak digunakan untuk kepentingan rakyat dan ada upaya perbaikan untuk menutup kebocoran penerimaan pajak maka NU akan mendukung pemerintah.Dinyatakan olehKetua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj bahwa kewajiban membayar pajak itu tidak ada dalam syariat islam, yang ada adalah kewajiban membayar zakat yang hukumnya wajib.Namun, umat Islam harus membayar pajak karena harus taat kepada pemerintah,pemungutanpajak diperbolehkan sepanjang untuk membangun negara.
Sangat menarik bahwa Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan ormas Islam terbesar di tanah air tertarik dan peduli atas peranan pemungutan pajak untuk pembiayaan negara.Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan pajak demikian vitalnya untuk pembangunan negara, dimanatidak kurang dari 75% APBN kita dibiayai dari penerimaan pajak.Untuk itu kita sependapat bahwa uang pajak harus diawasi bukan saja dari proses pemungutannya tapi juga dalam hal penggunaannya.Konstruksi berfikir kita akan menjadi kurang tepat apabila ancaman moratorium pemungutan pajak tersebut hanya dikaitkan pada ketidakpercayaan kita pada otoritas pajak. Apakah jikaotoritas pajak mampu memperbaiki sistem dan mengeliminasikebocoran pajak maka secara otomatismasyarakat akan terdorong untuk menjadi patuh terhadap pajak? Apakah otoritas pajak merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukanWajib Pajak untuk patuh atau tidak patuh terhadap pajak? Bagaimana dengan akuntabilitas penggunaan uang pajak oleh instansi pemerintah yang lain? Apakah Wajib Pajak tidak perlu kritis terhadap hal tersebut?Bagaimana dengan persepsi masyarakat terhadap sistem hukum secara umum dan tingkat kepercayaan nya terhadap pemerintah?Lantas, pertanyaan yang cukup mendasar adalah sebagian dari kita beranggapan seolah-olah keputusan seseorang menjadi patuh atau tidak patuh terhadap pajak sepenuhnya bergantung pada faktor diluar pribadi Wajib Pajak itu sendiri.Bagaimana dengan faktor moral dari Wajib pajak itu sendiri? Bagaimana peranan lingkungan sosial dan budaya dalam mendorong Kepatuhan Pajak?Secara lebih lanjut saya akan mengulas faktor- faktor yang membentukKepatuhan Pajak.
Menurut Andreoni, Erard and Feinstein (1998) faktor moral dan dinamika sosial dalam kaitannya pada model Kepatuhan Pajak merupakan area yang belum terjamah dalam penelitian. Sedangkan Budaya Pajak merupakan variabel lain yang mampu menjelaskan Kepatuhan Pajak. Kedua variabel tersebut (baik moralitas maupun Budaya Pajak) dapat menjadi faktor yang berperan dalam pembentukan Kepatuhan Pajak.Moralitas Pajak dideskripsikan melalui delapan indikator yaitufaktor 1) Partisipasi Warga Negara, 2) Tingkat Kepercayaan, 3) Otonomi Daerah dan Desentralisasi , 4) Kebanggaan , 5) Aspek Demografis, 6) Kondisi Ekonomi, 7) Aspek Pengelakan Pajak, dan 8) Sistem Perpajakan.Sedangkan Budaya Pajak dideskripsikanmelalui tiga indikator yaitu 1) Hubungan antara Aparatur Pajak dengan Wajib Pajak, 2) Peraturan Perpajakan, dan 3) Budaya Nasional.
Hasil riset yang saya lakukan di Indonesia pada tahun 2009 menunjukan bahwa faktor pembentuk Moralitas Pajak yang paling dominan adalah faktor demografis dimana tingkat pendidikan Wajib Pajak sangat besar peranannya untuk menentukan kepatuhannya terhadappajak. Indikator demografis yang lain misalnya , tingkat pendapatan, gender, status pernikahan dan agama, ternyata tidak begitu dominan dalam menentukan moralitas seseorang untuk patuh terhadap pajak.Faktor terkecil peranannya dalam membentuk Moralitas Pajak adalah deterrence factors, antara lain adanya penerapan sanksi perpajakan dan pungutan liar (pungli).Fenomena ini sangat menarik dan patut dicermati lebih lanjut, apakah Wajib Pajak mempersepsikan bahwa sanksi perpajakan sebagai faktor yang dapat diabaikan dan adanya kolusi dan korupsi sebagai sesuatu yang bisa diterima?Kalau memang benar, maka hal ini dapatmenjelaskan bahwa korupsipajak tidak lepas dari kuatnya dorongan Wajib Pajak untuk membayar pajak sekecil-kecilnya dengan cara apapun, sekalipun itu ilegal.Dengan kata lain, adanya kejadian kasus korupsi pajak (baca: kasus penyuapan terhadap aparat pajak) bukan saja menjelaskan moral perilaku dari aparat pajak, tetapi juga sekaligus menjelaskan moral perilaku dari Wajib Pajak juga. Untuk itu, pencegahan kebocoran penerimaan pajak pada otoritas pajak tidak cukupdengan perbaikan sistemdan pengawasan yang efektif tetapi juga sekaligus dengan melakukan edukasi terhadap Wajib Pajak agar mau membayar pajak dengan baik dan benar.Hal ini bukan semata tanggung jawab otoritas pajak tapi perlu keteladanan semua pihak.Selain itu perlu law enforcement yang lebih tegas terhadap wajib Pajak yang tidak patuh antara lain dengan cara memberikan kewenangan yang lebih mudahkepada otoritas pajak dalam mengakses data perbankan dan memiliki kewenangan menangkap pelaku kejahatan pajak.Artinya, sistem perpajakan perludiawasi dengan baik tapi sekaligus diberikan kewenangan yang lebih baik juga.Masalahnya mau tidak pengambil kebijakan di negeri tercinta ini melakukan terobosan tersebut?Sebagian dari kita mudah untuk menilai bahwa integritas aparatur pajak mudah tercederai, tapi bagaimana dengan Wajib Pajak nya sendiri?
Sikap kritis terhadap kinerja aparatur pajak memang penting, namun kritik yang tidak proporsional dapat bermakna sebagai upaya mendelegitimasi kewenangan otoritas pajak.Siapakah yang punya kepentingan untuk mendelegitimasi kewenangan otoritas pajak? Tidak lain adalah para pengemplang pajak.Mestinya penegakan hukum di bidang perpajakan harus diarahkan pada kedua sasaran yaitu kepada aparatur pajak dan kepada Wajib Pajak,sehingga pada akhirnya akan meningkatkan Kepatuhan Pajak.Upaya penegakan hukum yang adil, konsiten dan tegas akan mendorong tercapainya tatanan norma sosial yang lebih baik.Contoh menarik dari penelitian tentang Kepatuhan Pajak dapat dikaji dari jurnal yang ditulis oleh Ronald G. Cummings, Jorge Martinez-Vanquez, Michael McKee, Benno Torgler, Effect of Culture on Tax Compliance: A Cross Check of Experimental and Survei Evidence (2004). Penelitian dilakukan di dua negara di Afrika, yaitu Botswana dan Afrika Selatan. Kedua negara tersebut bertetangga, namun memiliki latar belakang historis yang berbeda. Analisis terhadap faktor Moralitas Pajakyang bersumber dari persepsi terhadap pemerintah memberikan hasil bahwaanggapan terhadap pemerintahan yang bersih dan adil lebih tinggi diberikan pada negara Botswana, oleh sebab ituhal ini sejalan dengan tingginya tingkat kepatuhan dalam penyampaian SPT (Surat Pelaporan pajak) di negara tersebut. Dengan menggunakan penelitian sejenisdengan variabel yang terikat (controlled), penelitian Cummings, Martinez, McKee dan Torgler tersebut mengkonfirmasi bahwa perbedaan perilaku pajak ini dapat dijelaskan dengan norma sosial. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perbedaan dalam perilaku kepatuhan Wajib Pajak adalah hasil dari perbedaan dalam norma sosial.
Terkait upaya penegakan hukum perpajakan dalam hubungan nya dengan konsep kepatuhan sukarela maka kita harus pahamibahwa Self assessment system bukanlah sebuah voluntary system, dimana diasumsikan bahwa Wajib Pajak akan dengan sukarela mematuhinya walaupun hal itu secara ekonomis merugikannya. Anggapan itu sungguh salah, logikanya Wajib Pajak akan berupaya membayar pajak sekecil-kecilnya.Oleh karena itu peraturan pajak harus dibuat dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dapat “memaksa” Wajib Pajak untuk membayar pajak dengan benar, yaitu dengan memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menguji kebenaran isi SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Disinilah pentingnya prinsip keseimbangan atau proporsionalitas, dimana Wajib Pajak juga mendapatkan sesuatu dari apa yang dibayarkannya berupahak untuk mendapatkan barang dan jasa publik secara layak.
Selanjutnya bagaimana faktor Budaya Pajak dapat menjelaskan tentangKepatuhan Pajak di Indonesia?Hasil riset yang saya lakukan di atas, memberikan hasil bahwaBudaya Pajak memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan Moralitas Pajak dalam mempengaruhi Kepatuhan Pajak.Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan di Jepang namun dengan makna yang jauh berbeda.Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa apabila di Jepang ada Wajib Pajak yang Moralitas Pajak nya rendah, namun karena begitu kuatnya nilai Budaya Pajak di sekitarnya maka orang tersebut akan menjadi lebih patuh terhadap pajak.Sebaliknya di Indonesia, apabila ada seseorang yang memiliki Moralitas Pajak yang tinggi namun karena disekitarnya nilai Budaya Pajak nya begitu rendah, maka orang tersebut akan terdorong untuk tidak patuh terhadap pajak.Disinilah eksistensi negara begitu penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang baik, melakukan diseminasi ketentuan perpajakan dan melakukan penegakan hukum yang tegas.Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa faktor peraturan perpajakan memberikan kontribusi terbesar kepada Budaya Pajak dalam mempengaruhi Kepatuhan Pajak. Sedangkan hubungan antara Wajib Pajak dan aparatur pajak serta budayanasional merupakan sub variabel Budaya Pajak yang memberikan kontribusi terkecil dalam membentuk Kepatuhan Pajak.
Hasil Penelitian terhadap Budaya Pajak di Indonesia memperlihatkan bahwa aspek peraturan perpajakan yang dinilai lebih dominan adalah publikasi yang dilakukan kantor pajak, dari aspek hubungan antara aparatur pajak dan Wajib Pajak faktor dominan yang membentuk motivasi membayar pajak adalah keramahan petugas pajak, sedangkan dari aspek Budaya Nasional yang lebih dominan memotivasi membayar pajak adalah faktor kesadaran dan melaporkan pajak dengan benar. Faktor-faktor pembentuk Budaya Pajak tersebut menjadi hal yang kemudian harus diperhatikan dalam menyusun kebijakan perpajakan di masa yang akan datang sehingga permasalahan mengenai rendahnya kepatuhan pelaksanaan pemungutan pajak tidak akan menjadi masalah yang terus-menerus hadir dalam sistem perpajakan kita.Dalam hal Kepatuhan Pajak, risettersebut menunjukan hasil bahwa Kepatuhan Pajak lebih banyak dibentuk oleh kepatuhan formal semata (patuh untuk menyetor dan melapor pajak tepat waktu), dibanding dengan kepatuhan material (kepatuhan untuk menyetor dan melaporkan pajak dengan jumlah yang benar).
Dari uraian di atas maka dapat disampaikan bahwa efektivitas pemungutan pajak bukan hanya tanggung jawab otoritas pajak semata, banyak aspek yang menjadi faktor penentu yang bukan merupakan domain dari otoritas pajak.Mendorong Moralitas Pajak warga negara dan menanamkan Budaya Pajak yang tinggitidak bisa hanya dengan penyempurnaansistem perpajakan , namun lebih dari itu, diperlukan keteladanan, kemauan yang keras dari negara dan seluruh elemen masyarakat dalam mencapai tujuan tersebut.Kita memang perlu mengawasi dan mengkritisi otoritas pajak kita, tetapi penegakan hukum yang tegas kepada Wajib Pajak juga merupakan upaya yang sama pentingnya.Sistem perpajakan kita memang belum sempurna, penyimpangan masih mungkin terjadi, namun ancaman memboikot pajak sungguh tidak diperlukan, karena dampak dari penggelapanpajak akan sama buruknya dengan korupsi itu sendiri.( Widi Widodo, Bandung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H