Mohon tunggu...
Widi Wahyuning Tyas
Widi Wahyuning Tyas Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis kadang sama menyenangkannya dengan nonton mukbang.

Hidup terasa ringan selama masih ada sayur bayam, tempe goreng, dan sedikit sambal terasi.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Sebetulnya, Rindu Tak Pernah Salah

28 Maret 2020   11:56 Diperbarui: 29 Maret 2020   12:26 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari belum terlalu tinggi ketika  aku bangun. Karena masih work from home, aku niatkan untuk cepat menyelesaikan pekerjaan supaya masih punya waktu untuk workout di sore hari. Tiba-tiba sepotong kalimat bijak melintas di layar ponsel. Sebuah quote konfusius  yang di-share oleh salah satu teman di Instagram.

"Waktu adalah emas. Tapi waktu yang telah hilang tidak akan bisa dibeli dengan emas"

Ah, aku sepakat, tapi sekaligus benci.

Alih-alih membuka laptop untuk menyelesaikan pekerjaan, aku malah tergoda untuk membuka arsip instastory Instagram.

Beberapa wajah muncul, lengkap dengan berbagai macam ekspresi. Kebanyakan dari mereka tertawa. Ada juga yang bertingkah konyol dan kurekam dengan tidak sengaja. Sedang sisanya adalah potret diriku sendiri yang gemar berswafoto selayaknya perempuan pada umumnya.

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba aku merasakan panas menjalari ruas-ruas dadaku. Padahal toh itu hanya sebuah potret, atau video pendek dengan durasi tak lebih dari 15 detik.

Kenangan-kenangan itu seperti roll film yang diputar dalam frame memoriku. Membuatku terlempar dalam setiap adegan yang terekam.

Aku masih ingat betul bagaimana malasnya pergi ke kampus di jalanan Pantura yang kacau dan penuh polusi. Biasanya, aku telat 15 menit setelah sebelumnya berpapasan dengan Tustus, Taufik, Catur, dan 'gank telat' lain yang ikut berdesak-desakan menunggu lift.

Aku ingat bagaimana rasa nasi bungkus perpustakaan dengan lauk tumis buncis dan telur ceplok, kadang juga ditemani dengan kering tempe. Makanan itu jadi pilihan anak-anak nugas seperti Haiqal, mas Alwani, Mukmin, Cahyo, dan anak-anak lain yang tidak punya banyak waktu untuk ke kantin.

Aku ingat bagaimana 4 tahunku dengan Dewi. Kami adalah teman sekamar sebelum dia memutuskan untuk pindah kosan. Beberapa kali kami memasak bersama. Biasanya, sayur bayam atau sayur sop jadi menu pilihan karena mudah dimasak oleh kami yang kemampuan masaknya masih penuh keterbatasan. 

Pernah suatu kali, setelah selesai memasak sayur sop, Dewi tidak sengaja menumpahkan hand body lotion ke dalamnya. Padahal, sepanci penuh sayur itu masih mengepul, dan terlihat nikmat jika disantap dengan nasi hangat. Tapi, kami harus ikhlas membuangnya karena rasanya betul-betul seperti hand body lotion. Aku serius.

Aku ingat bagaimana menyenangkannya menghabiskan bulan Ramadhan di kosan basecamp Ngablak dengan mbak Pipik, Farah, Talitha, mbak Desma, dan Dewi yang hingga akhir masa kuliahnya memilih untuk menetap di sana. Aku sering numpang tidur di kamar Dewi karena tidak suka sahur sendirian. 

Meski jauh dari keluarga dan tidak ada ibu yang membangunkan, kami punya Farah. Serius, dia bukan cuma alarm, tapi juga si rajin yang paling semangat masak lauk untuk sahur.  Dia jarang sekali marah walaupun aku terlampau tidak tahu diri karena sering bangun saat semua santapan sahur telah matang. Ah Farah, tipikal istri idaman yang hingga kini masih menunggu pinangan.

Aku ingat bagaimana menyebalkannya menerjang banjir rob yang jadi langganan Semarang Timur, hujan-hujanan demi tugas liputan, berdebat panjang demi menyatukan pikiran, tidak tidur dua hari karena tugas editing video, bangun subuh demi mengumpulkan dana usaha acara dengan ngamen dan jualan di CFD, berselisih paham, tidak saling bertegur sapa, dan segala ego yang ternyata bisa mudah dilunturkan dengan makan bersama di angkringan. 

Sesederhana itu..

Well, cerita 4 tahun rasanya tidak cukup jika dituliskan dalam halaman Microsoft Word. Kuhitung-hitung, hampir 5 bulan aku tidak berjumpa dengan mereka. Tapi aku cukup senang karena masih bisa melihat kelanjutan hidupnya dari laman media sosialnya.

Rasa-rasanya, aku sedang flashback. Aku juga pernah begini saat baru lulus SMA. Aku pernah merasa begitu rindu dengan teman-teman sekelas yang telah bersamaku selama 3 tahun.

Aku tidak mengerti kenapa tuhan menciptakan konsep waktu sebagai sesuatu yang tidak bisa diputar kembali. Bukan aku malas bergerak maju menuju masa depan, tapi waktu yang telah hilang selalu menyisakan kenangan. Dan sialnya, kenangan itu kadang terlalu liar. Selalu memaksa masuk untuk dijenguk. Padahal, dulu di masa-masa itu aku pernah begitu muak, sampai-sampai aku ingin segera beranjak menuju fase kehidupan yang baru.

Adegan-adegan itu masih berputar di kepalaku.  Meski tidak semuanya menyenangkan, ternyata tetap manis bila telah menjadi kenangan. Yang kuherankan, bagaimana bisa sepotong kenangan itu begitu magis? Bagaimana bisa sepotong kenangan mengubah hal-hal yang dulunya terasa biasa menjadi rindu yang sangat menyiksa?

Mungkin komposisinya begini. Waktu, kehidupan, dan kenangan, selalu dihadirkan dalam satu kemasan. Seiring waktu berputar, seiring kehidupan baru berjalan, sesekali kamu akan menengok ke belakang. Bukan apa-apa, kamu hanya perlu melihatnya kembali, sebentar saja. Setelah itu, pilih sendiri, akan kau tertawakan, atau kau tangisi semalaman.

Oh, aku lupa, ada satu komposisi yang tertinggal. Rindu...

Aku percaya, beberapa tahun ke depan, memoriku akan memutar roll-roll film kehidupanku saat ini. Bersama dengan orang-orang yang kini mulai masuk dalam kehidupanku dengan perannya masing-masing. Tak apa, aku hanya perlu menjenguknya. Tanpa sapa, tanpa tanya, cukup mengenangnya saja. Seperti berbincang dengan sekelebat rindu yang sedikit mengganggu.

Sebetulnya, rindu tidak pernah salah. Hanya saja, kadang ia terlalu berat untuk ditanggung saat sudah menggunung, ataupun saat sudah tak terbendung. Yang membuatnya sulit adalah, kita tidak bisa selamanya menahan rindu. Pun sebaliknya, kita juga manusia biasa, yang kadang tidak punya kemampuan untuk melunasi rindu.

Ah, aku kalah. Lagi-lagi rindu menang. Seperti selalunya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun