Mohon tunggu...
Widi Wahyuning Tyas
Widi Wahyuning Tyas Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis kadang sama menyenangkannya dengan nonton mukbang.

Hidup terasa ringan selama masih ada sayur bayam, tempe goreng, dan sedikit sambal terasi.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Menakar Beban Jiwa Pemain Sepak Bola

23 Oktober 2018   15:24 Diperbarui: 23 Oktober 2018   15:30 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Besok, 24 Oktober 2018, akan menjadi hari penentuan hidup dan mati Timnas U-19 yang akan melawan Uni Emirat Arab di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Timnas U-19 mau tidak mau harus memenangkan pertandingan ini untuk lolos ke 8 besar dalam ajang Piala AFC U-19. Kekalahan 5-6 dari Qatar pada pertandingan kedua Grup A, Minggu (21/10) lalu otomatis membuat Timnas U-19 berada dalam posisi  tak aman di papan klasemen. Untuk bisa melaju ke babak selanjutnya, Timnas U-19 bahkan tidak boleh imbang, apalagi kalah.

Setelah Piala AFC, kurang dari sebulan lagi, Timnas Indonesia akan kembali memulai perjuangannya di Piala AFF 2018. Tergabung di Grup B bersama Thailand, Filipina, Singapura, dan Timor Leste, Tim Merah putih paling tidak harus  berada di posisi dua teratas Grup B untuk lolos ke semifinal. Deretan turnamen sepak bola yang sudah menanti membuat para pemain harus benar-benar menyiapkan fisik dan mental yang matang.

Muda, kaya, dan bertubuh sehat saya rasa menjadi 3 kriteria yang pantas untuk menggambarkan para pemain sepak bola. Dengan usia yang terbilang masih muda, seorang pemain sepak bola mampu meraup bonus hingga milyaran dalam satu musim, apalagi jika mampu menyabet gelar juara. Latihan fisik yang dilakukan secara rutin juga sudah pasti membuatnya memiliki tubuh yang sehat karena rajin berolahraga.

Dengan kehidupan yang terlihat sempurna itu, pemain sepak bola seharusnya bisa dibilang 'bahagia'. Namun, sedikit menoleh ke belakang, mari kita ingat kembali kisah tragis Andreas Biermann, pemain berkebangsaan Jerman yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena depresi lantaran penyakit yang dideritanya selama lima tahun tak kunjung sembuh. Ia meninggal dengan cara menabrakkan diri ke kereta ekspres di Hannover. Tragis.

Sebelumnya, Biermann didiagnosis menderita tekanan jiwa. Ia pernah mencoba bunuh diri hingga tiga kali pada 2009, namun ia berhasil untuk melawan dorongan itu sebelum pada akhirnya harus menyerah kalah pada tahun 2014.

Lebih jauh lagi, Robert Enke, kiper tim nasional Jerman juga bunuh diri pada 10 November 2009 dengan cara menabrakkan dirinya pada kereta api yang melaju kencang, sama seperti Biermann. Kabarnya, cara Enke bunuh diri memang menjadi inspirasi bagi Biermann untuk turut mengakhiri hidupnya.

2 tahun kemudian, yaitu pada 2011, mantan kapten tim nasional Wales yang pernah bermain lebih dari 800 kali di turnamen sepak bola Inggris, Gary Speed mengakhiri hidupnya dengan gantung diri pada usia 42 tahun. Kok tragis sekali ya? Padahal jika kita lihat, pemain sepak bola memiliki hidup yang menyenangkan, bisa mendapatkan uang dari hobinya, sekaligus memiliki tubuh yang sehat.

Melansir CNNIndonesia, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Federasi Pemain Sepakbola Internasional menyatakan bahwa depresi memang hal biasa di kalangan para pemain sepakbola. Satu dari empat pemain sepak bola (lebih dari 25 persen) mengaku bahwa dirinya mengalami kecemasan dan depresi. Persentase ini lebih tinggi di kalangan para pesepakbola yang sudah pensiun, yaitu mencapai angka 39 persen. Sementara sebagai perbandingan, survei  juga dilakukan kepada anggota militer Inggris dan hasilnya hanya 19,7 persen yang mengalaminya. Selain itu, survei serupa juga dilakukan pada perawat dan hasilnya menunjukkan angka 18 persen.

Terkait hal ini, Louise Ellis, salah satu konsultan dan psikolog olahraga menjelaskan bahwa pensiun merupakan salah satu proses yang menimbulkan trauma. Mereka harus memutuskan apakah harus  pensiun di kala masih berjaya atau menunda keputusan pensiun dengan pindah ke klub dengan beban yang tidak terlalu tinggi.

Di sisi lain, pada pemain muda, tekanan muncul dari adanya keharusan untuk terus berprestasi dan menjadi manusia yang sempurna. Tuntutan semacam ini membuat mereka sering merasa tertekan dan terisolasi. Bahkan pemain kelas dunia pun tak luput dari perasaan tertekan seperti ini karena terus menerus berkompetisi untuk tetap mendapatkan tempat di tim utama.

Hal inilah yang terjadi pada Enke yang mengalami kesulitan beradaptasi ketika pindah ke Barcelona. Sebagai kiper terbaik Jerman, Enke malah lebih sering dicadangkan di Spanyol. Kenyataan ini tak ayal  membuat Enke pertama kalinya mengalami depresi klinis pada saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun