Sebagian besar warga asing yang mendengar nama Indonesia pasti akan langsung mengaitkannya dengan Bali. Pulau Dewata ini memang sangat identik sebagai the icon of Indonesia. Beribu kota di Denpasar, pulau ini memiliki ratusan destinasi wisata apik yang sangat sayang untuk dilewatkan. Setidaknya, dalam setahun Bali dikunjungi oleh 5 juta lebih wisman dan 8 juta lebih wisatawan domestik. Bisa dibayangkan betapa padatnya pulau dengan luas 5,78 ribu km persegi ini. Bali menyumbang sekitar 40 persen dari total kunjungan wisman ke Indonesia.
Birunya air laut yang membentang dibatasi langsung dengan pantai berpasir putih lengkap dengan hembusan angin yang menggoyangkan daun-daun kelapa membuat suasana tropis begitu kental terasa jika kamu mengunjungi Bali. Selain itu, wisata budaya yang ditawarkan juga akan membuatmu takjub hingga ingin mengunjunginya kembali.
Tak hanya sebagai destinasi wisata yang menyenangkan, Bali juga kerap menjadi tempat diselenggarakannya berbagai pertemuan dan kunjungan penting seperti kunjungan mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama dan pertemuan IMF yang saat ini tengah berlangsung. Meski sempat mengalami penurunan saat bencana meletusnya gunung Agung, Bali tetap menjadi candu yang senantiasa memanggil untuk dikunjungi kembali.
Hingga tanggal 14 Oktober ke depan, Bali menjadi tuan rumah diselenggarakannya pertemuan IMF-Bank Dunia. Pertemuan ini akan diikuti oleh 189 negara, termasuk Indonesia. Dipilihnya Bali karena pulau ini dianggap sebagai 'wajah' Indonesia. Dilansir dari CNNIndonesia, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengungkapkan bahwa kalau ada travel warning ke Bali, maka impactnya tidak hanya ke Bali saja, namun juga Indonesia.
Meski demikian, banyaknya wisatawan yang memadati Bali diprediksi akan membuat overtourism atau ledakan jumlah turis. Masalah ini sebelumnya telah menerjang Thailand dan Spanyol.
Dari hitung-hitungan saja, dalam sehari Bali dikunjungi oleh 15 ribu wisatawan. Hal ini dibenarkan oleh Annisa Pratiwi selaku Kepala Laboratorium Pariwisata Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia yang mengungkapkan bahwa bila mengacu pada fakta tersebut, maka Bali memang sudah sah overtourism. Ia menambahkan bahwa overtourism di Bali juga dilihat dari sisi lingkungan dan budaya mengingat adanya perilaku wisatawan yang kurang menghormati adat dan budaya setempat.
Selain itu, kurangnya transportasi umum yang memadai juga menambah masalah ini. Jika wisatawan yang mengunjungi Bali semakin membludak, ada kemungkinan masyarakat Bali menolak kehadiran wisatawan terkait kepadatan. Annisa menjelaskan bahwa saat ini Bali sudah sampai tahap Irritation atau Annoyance, dimana masyarakat mulai terganggu dengan kehadiran wisatawan. Ini merupakan titik jenuh sebelum menuju fase Antagonism yang merupakan fase dimana masyarakat secara terbuka menunjukkan ketidaksenangannya kepada wisatawan.
Dampak lain dari Overtourism di Bali adalah sampah dan macet. Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Bali, Dewa Ayu Laksmiadi Janapriati mengungkapkan bahwa dua masalah ini sangat butuh perhatian pemerintah. Masalah ini bisa sedikit tertangani saat ada ajang internasional, namun saat ajang tersebut telah rampung, lagi-lagi masalah ini luput dari perhatian.
Laksmi menambahkan bahwa pantai-pantai di Bali menjadi salah satu pelabuhan dari sampah-sampah yang dibuang di laut. Kurangnya Tempat Pembuangan Akhir tidak sebanding dengan jumlah wisatawan yang datang. Beberapa masyarakat enggan membangun TPA di tempat tinggalnya karena percaya bahwa TPA memiliki aura negatif.
Soal kemacetan, Laksmi berpendapat bahwa Bali perlu melakukan investasi ke kawasan baru. Ribuan turis yang datang setiap harinya tumpah ruah di kawasan populer, sementara kawasan utara belum tergarap dengan baik. Pengembangan objek wisata baru agaknya perlu dilakukan agar turis menyebar dan tak hanya berpusat di satu titik.
Bali telah berkontribusi banyak sekali untuk pariwisata Indonesia. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap anggaran pemasukan negara. Untuk itu, sudah seharusnya Bali tak hanya mejadi tanggung jawab pemerintah daerah, namun juga pemerintah pusat. Koordinasi dan komitmen yang baik antara pemerintah dan masyarakat, khususnya yang berada di Bali tentu sangat diperlukan. Bali milik kita, maka kita yang harus merawatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H