Bulan ramadan merupakan bulan suci penuh ampunan. Umat muslim berbahagia menyambut bulan suci ini. Mereka berbondong-bondong pergi ke masjid untuk mencari keberkahan ramadan dengan solat tarawih, tadarus al-quran, atau sekadar mendengarkan siraman rohani.
Bagi sebagian umat muslim, penyambutan bulan ramadan dimeriahkan dengan suara petasan. Namun, petasan seringkali mendatangkan pro dan kontra hingga mala petaka. Bahkan faktanya, petasan bukanlah tradisi yang berasal dari syariat islam. Semua berasal dari pengadaptasian budaya China.
Ramuan Abadi Orang ChinaÂ
Dilansir dari American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, petasan dan kembang api berawal sekitar tahun 800 masehi. Pencampuran kalium nitrat, sulfur, arang yang dilakukan ahli kimia di China menghasilkan mesiu mentah.Â
Konon, percobaan tersebut dilakukan untuk menciptakan ramuan keabadian. Orang China percaya ledakan mampu mengusir roh jahat. Meskipun ramuan tersebut gagal, petasan dan kembang api berhasil ditemukan. Â
Dalam percobaannya, orang China melemparkan tunas bambu ke dalam api, hingga menimbulkan ledakan yang kencang. Tunas bambu tersebut berisi mesiu, yakni  bubuk hitam yang terbuat dari campuran belerang, arang, dan kalium nitrat, yang dapat menjadi bahan pendorong senjata api.
Dilansir dari National Geographic, Pada abad ke-10, orang-orang China mulai menyadari bahwa mereka dapat membuat bom dari mesiu. Hingga akhirnya terus berkembang dengan bantuan teknologi dan menjadi senjata api. Penemuan China ini terdengar sampai ke Eropa dan negara Barat lainnya. Dari sana lah, Barat mengembangkan mesiu menjadi senjata yang lebih kuat, seperti meriam dan senapan.
Eksistensi Petasan
Dalam bukunya yang berjudul Jakarta Punya Cara (2012), Zeffri Alkatiri menuturkan bahwa petasan awalnya dibawa oleh orang China ke Batavia. Mereka menggunakan petasan sebagai bentuk kegembiraan menyambut hari-hari besar serta mengusir roh-roh jahat. Tradisi tersebut masih digunakan dalam berbagai ritual orang China, seperti Sin Cia dan Cap Go Meh.
Seiring berjalannya waktu, tradisi petasan diadaptasi oleh budaya Betawi. Mereka turut menggunakan petasan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan sekaligus rasa syukur untuk memeriahkan hari-hari tertentu, seperti acara pernikahan, hajatan, dan pengantar orang yang hendak berhaji. Bahkan, petasan dimainkan saat ziarah kubur. Namun, seorang budayawan Betawi, Yahya, mengatakan kebiasaan itu mulai menghilang sekitar tahun 1990an.
"Saat saya masih kecil, awal 1970an, itu bahkan kita di kuburan kalau ziarah kubur, hari kedua Lebaran, itu semuanya pada bakar petasan," kata Yahya.
Dar Der Dor Petasan di Saat Ramadan
Sama seperti Betawi, Islam pun turut mengadopsi budaya petasan dengan dibunyikannya petasan ketika menyambut ramadan serta menjelang lebaran. Meskipun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan petasan dimainkan di hari-hari bulan ramadan.
Meski sudah menjadi tradisi, petasan kerap kali dilarang dan diamankan aparat karena membawa seribu kemubadziran yang merugikan. Bahkan, kasus insiden akibat petasan seringkali terjadi hingga menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa.Â
Pro dan kontra pun diperkuat dengan adanya perbedaan pendapat antara generasi tua dan muda. Generasi tua cenderung ingin menikmati ramadan dengan penuh ketenangan, sedangkan generasi muda ingin memeriahkan ramadan dengan aktivitas seru dan menantang. Â Â
Tindakan Pemerintah
Pada 1967 silam, pemerintah khususnya Gubernur DKI Jakarta melarang membuat, menyimpan, dan memperdagangkan mercon dan kembang api. Termasuk menyalakannya. Larangan bermain petasan hingga larangan berjualan petasan sudah diberlakukan pemerintah setempat.Â
Bahkan, pihak kepolisian pun rutin menyita petasan yang diprediksi akan disalahgunakan. Meskipun demikian, petasan tetap eksis dan mewarnai gelapnya malam. Hal tersebut terjadi akibat minimnya kesadaran diri terkait bahaya petasan disertai pemaknaan tradisi yang keliru.
Tradisi yang Keliru
Tidak harus menunggu momen ramadan atau lebaran, bermain petasan dapat dilakukan kapanpun, tentunya di tempat yang tepat. Kebiasan turun temurun membuat hal ini menjadi tradisi yang keliru.Â
Esensi menyambut bulan suci yang berujung merugikan orang lain, membuat tradisi ini perlu dikaji ulang. Maka dari itu, perlu adanya psikoedukasi disertai teladan yang baik untuk meminimalisasi penyalahgunaan petasan di bulan ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H