Mohon tunggu...
Widi Sofiah
Widi Sofiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Layaknya senja yang menggurat nabastala. Aku berharap dapat memberikan kehangatan dan kebahagiaan. Meski, sementara dan dengan cara sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Depresi: Sebuah Jurang bagi Korban Kekerasan Seksual

13 Juni 2024   13:08 Diperbarui: 13 Juni 2024   14:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Manusia hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar dan mempercayai apa yang ingin mereka percaya. Tidak peduli dengan fakta maupun pernyataan dari orang yang benar-benar merasakannya. Sebagai contoh dalam drama korea yang saya tonton, Tomorrow judulnya. 

Drama tersebut secara langsung mengangkat tentang isu-isu sosial yang terjadi pada masyarakat Korea namun selaras juga dengan kondisi di negeri kita, Indonesia. Salah satu isu yang dibahas yaitu terkait ketidakadilan pada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. 

Di sana diceritakan bahwa hal pertama yang keluarga tanyakan dan khawatirkan bukanlah kondisi atau perasaan korban, melainkan pertanyaan-pertanyaan klasik yang cenderung menghakimi dan mendiskriminasi, seperti mengapa kamu bisa menjadi korban kejahatan seksual? kenapa kamu tidak berusaha berlari dan melawan pelaku? dan bagaimana pandangan orang lain jika mengetahui bahwa kita memiliki anggota keluarga yang menjadi korban kekerasan seksual?.

 Pertanyaan tersebut terdengar wajar bagi mereka, namun tidak bagi korban. Pertanyaan mengapa, kenapa, dan bagaimana memiliki konotasi yang negative dan sensitive. Terlebih, kondisi psikis korban yang pasti jauh lebih terluka dan hancur bak cermin yang jatuh dari ketinggian. Pertanyaan-pertanyaan demikian secara tidak langsung menyatakan bahwa korbanlah yang bersalah dan bertanggungjawab atas semuanya. 

Sungguh ironi bukan? mereka yang bertanya telah melupakan hakikatnya sebagai manusia yang bermoral dan berakal, korban yang seharusnya dilindungi, didukung, dan diperhatikan justru diperlakukan sebaliknya. Korban dipandang tidak baik, korban dipaksa untuk mengubah penampilan atau gaya berpakaiannya serta sikap dan hal-hal yang disenangi korban.  

Mereka beralasan bahwa tuntutan tersebut diberikan agar tidak mengundang kejahatan yang sama. Akan tetapi, cenderung membatasi, mendiskriminasi, dan memperlihatkan ketidakbijaksanaan dalam menempatkan empati sehingga korban menjadi pihak rentan dan paling dirugikan. 

Korban mengalami gangguan kecemasan sosial yang berlebihan, trauma yang mendalam, dan depresi sebagai puncaknya. Depresi merupakan keadaan dimana korban mengalami suatu perasaan kesedihan yang begitu berat, kesepian, dan kehampaan atau ketidakbermaknaan dalam menjalani kehidupan. 

Depresi membuat energy korban cepat berkurang, hilangnya minat atau kesenangan atas hal yang biasa dilakukan, munculnya perasaan bersalah, rendah diri, dan ketakukan akan dunia luar. Korban menjadi pribadi yang tertutup dan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Selain itu, beberapa kali korban melakukan perilaku menyakiti diri (self harm). Perilaku ini merupakan bentuk pertahanan terakhir dari korban untuk bisa tetap hidup dan sebagai upaya dalam mereduksi ingatan pahit yang selalu menghantui serta kejamnya dunia yang terlalu menghakimi. Namun, caranya sangat ekstrem seperti menyayat pergelangan tangan dengan benda tajam. 

Menurut korban tindakan tersebut adalah cara paling sempurna dalam memberikan ketenangan. Korban menjadi focus pada rasa sakit sayatan yang ada di tangannya. Semakin lama durasi darah yang keluar, maka semakin lama juga korban melupakan hal-hal buruk yang tertanam di ingatannya. Akan tetapi, perilaku menyakiti diri (self harm) sebagai dampak dari gangguan depresi, jika dibiarkan dan berlangsung dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan sesuatu yang lebih buruk yaitu adanya keinginan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri (suicide). 

Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang akan merugikan diri sendiri dan orang yang berada disekitarnya. Bunuh diri bukan sekedar hilangnya nyawa dari raga namun juga bertambahnya beban dan dosa yang harus ditembus diakhirat kelak.

Mengerikan bukan? berawal dari pertanyaan yang disampaikan tanpa empati, kemudian membuat korban merasakan kecemasan dan trauma yang mendalam, depresi yang disertai menyakiti diri, bahkan munculnya ide untuk melakukan bunuh diri. 

Lalu, apa yang harus dilakukan ketika menemui korban kekerasan seksual? Pertama, kembangkan empati pada diri masing-masing agar nanti dapat memahami dan merasakan bagaimana jika kita ada di posisi korban. Kedua, bersikaplah netral dan hindarilah pertanyaan yang menyudutkan karena sejatinya tidak ada korban yang ingin disalahkan. Terakhir, lihatlah respon korban ketika kita menemuinya apakah sudah menunjukkan kondisi yang lebih baik atau tidak. Jangan langsung mengajak berbicara atau memaksanya untuk cepat menerima kejadian buruk yang menimpa. 

Mengapa demikian? karena untuk menyembuhkan luka yang menganga dibutuhkan waktu yang setara dan untuk menerima suatu keadaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun