Mohon tunggu...
Widi Reka Altiawati
Widi Reka Altiawati Mohon Tunggu... -

"Reading is hot. Writing is cool."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Narasi Rindu Sungai Cisadane

3 Oktober 2017   21:29 Diperbarui: 3 Oktober 2017   21:44 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sungai Cisadane merupakan sungai besar di Tatar Pasundan. Sungai yang memiliki panjang sekitar 125 km ini melintasi  44 kecamatan di 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kab. Tangerang, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan.

Sebelum disebut Cisadane sungai ini disebut Sadane. Ci sendiri dalam bahasa Sunda artinya sungai, sementara Sadane dalam bahasa Sanskerta berarti istana kerajaan. Sehingga bermakna sungai yang berasal dari istana kerajaan. Kerajaan yang termaksud diperkirakan adalah Kerajaan Padjajaran, sebab Sungai Cisadane berhulu di lereng Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Bogor. Dari lereng gunung, Cisadane melintasi Kota Tangerang kemudian bermuara di Tanjung Burung, lalu mengalir ke Laut Jawa.

Namun, versi yang berbeda memaparkan bahwa nama Cisadane berasal dari bahasa Sunda, karena jauh sebelum orang-orang Tionghoa datang dan bermukim di Tangerang, penduduk di sekitar Sungai Cisadane adalah orang-orang Sunda dari tanah Padjajaran yang berpindah ke tanah Banten. Dikabarkan dahulu, sebelum  pintu air dibuat pada zaman Belanda, Sungai Cisadane mengalir dengan deras hingga memunculkan suara yang bergemuruh, oleh sebab itu orang-orang Sunda menamakannya Sungai Cisadane.

Sungai yang membelah Kota Tangerang ini memiliki banyak cerita yang berkembang di masyarakat. Dahulu, Sungai Cisadane sempat mengalami banjir yang amat besar. Dikisahkan ribuan tahun yang lalu hidup dua naga yang merupakan titisan dari Dewa Anata (Dewa Ular) yang dipercaya sebagai penunggu Sungai Cisadane. Kedua naga tersebut bernama Naga dan Gede. Sang kakak yang bernama Naga merupakan calon penguasa laut utara Jawa Barat, tepatnya di kawasan Teluk Naga, sementara sang adik, Gede, diharapkan bisa menjadi penguasa Gunung Gede.

Keduanya diberikan tugas oleh Dewa Ananta. Gede bertugas mengatur sumber mata air, sementara Naga bertugas mengatur pertemuan air di muara dan mencegah air laut agar tidak masuk dan mengganggu daratan. Sebelum mengemban tugas, mereka diharuskan menjalankan pertapaan di kaki Gunung Gede selama seribu tahun untuk memperkuat ilmu kesaktian bagi keduanya.

Waktu terus berlalu, seribu tahun sudah Naga dan Gede menjalankan tapa bratanya. Kesaktian mereka sudah tidak diragukan lagi untuk menjalankan dharma hidup sebagaimana yang telah dititahkan Dewa Ananta kepada mereka. Naga bersedih karena harus pergi berpisah meninggalkan adiknya, begitupula dengan Gede yang tidak ingin berjauhan dengan kakaknya. Naga pun mencoba meyakinkan dan mengingatkan sang adik bahwa mereka harus berpisah untuk menunaikan tugas dewata untuk menjaga sungai dan lautan. Dengan berat hati, akhirnya Naga pun pergi meninggalkan Gede.

Tahun-tahun berlalu, Gede merasakan rindu yang teramat pada kakaknya. Gede telah berusaha memendam rindunya, namun rindu justru membuatnya semakin tidak berdaya. Gede tidak bisa menahan rindunya lebih lama lagi, ia pun memohon izin kepada Dewa Ananta untuk pergi menemui kakaknya walau hanya sesaat. Kegaduhan suasana hati Gede seolah berpendar terhadap alam di sekitarnya. Hujan yang sangat lebat mengguyur Gunung Gede selama beberapa hari yang mengakibatkan longsor di beberapa tempat. Khawatir akan ada lebih banyak kerusakan yang terjadi Dewa Ananta pun memberikan izin, dengan syarat Gede harus melakukan perjalanan di malam hari, dan sudah kembali ke Gunung Gede ketika ayam berkokok.

 Gede menyetujui apapun persyaratannya, meskipun sebenarnya ia resah karena ia tidak mampu memperbesar dan memperkecil mata air yang akan memperlambat perjalanannya saat menyisiri sungai. Ia pun tetap berangkat meski ragu bisa tiba dengan tepat waktu.

Kedua naga kakak beradik itu pun bertemu. Keduanya saling bercengkrama meluapkan rindu karena ratusan tahun tidak bertemu. Ketika kedua ular ini saling bercengkrama, konon ada seseorang yang memiliki keilmuan gaib dan tanpa sengaja melihat kedua naga tersebut. Hal inilah yang menjadi cikal bakal daerah yang bernama Teluk Naga, salah satu wilayah di kabupaten Tangerang.

Tak lama berselang suara ayam berkokok terdengar. Naga meminta adiknya bersegera untuk pulang, namun karena hatinya masih rindu ia tak juga pergi meninggalkan kakaknya. Keberadaan Gede tanpa disadari telah membuat Sungai Cisadane banjir hebat. Dia tidak menyadari jika tubuhnya yang besar dan panjang itu membujur di atas sungai dan menghalangi aliran sungai sehingga membuat sungai meluap.

Pada waktu itu, banjir terbesar terjadi di wilayah Tangerang Selatan, tepatnya di tikungan Desa Lengkong, Serpong. Hal ini dikarenakan ukuran perut terbesar ular itu menyumpal di liukan sungai tersebut. Dari situlah wilayah ini dinamakan Lengkong.

Meskipun banjir telah membuat banyak kerusakan, namun sebagian penduduk memaklumi jika banjir tersebut dikarenakan takdir naga Gede yang rindu untuk menemui kakaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun