Mohon tunggu...
Widi Reka Altiawati
Widi Reka Altiawati Mohon Tunggu... -

"Reading is hot. Writing is cool."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksi 411, Fisabilillah dan Fisabinnas

18 November 2016   03:01 Diperbarui: 18 November 2016   15:11 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi auliya maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Maidah: 51)

            Surat Al Maidah adalah kebenaran yang hakiki, karena datangnya dari Allah, firman Allah, perkataan Allah. Sama sekali tidak berisi kebohongan dalam setiap ayatnya, tidak pula diturunkan sebagai alat untuk berbohong.

            Beberapa pekan lalu salah seorang tokoh pemimpin Indonesia dalam pidatonya menyatakan bahwa Surat Al Maidah ayat 51 dipakai untuk membohongi, kemudian rekaman videonya yang dilayangkan ke publik sontak membuat publik dan umat muslim geram.

            Puncaknya pada tanggal 4 November 2016, lebih dari satu juta umat muslim dari segala penjuru Indonesia turun menggelar aksi bela agama untuk menuntut keadilan. Saya senang menyebut aksi ini sebagai aksi asap. Apinya adalah perkataan Ahok yang diduga menistai agama.

            Menurut saya, Ahok sama sekali tidak dalam kapasitas untuk menilai kitab suci umat muslim. Gubernur non-aktif tersebut sepertinya merasa terganggu dengan potongan ayat tersebut yang belakangan sedang banyak digencarkan oleh para ulama, karena akan sangat berpengaruh terhadap pencalonan dirinya sebagai Gubernur Jakarta di periode yang akan datang. Misalnya, publik akan tergiring dengan opini-opini yang muncul untuk tidak memilihnya. Sehingga kalimat tersebut terlontar begitu saja dalam pidatonya.

            Tetapi terlepas dari sudut pandang agama, sebagai sosok, tokoh publik, Gubernur DKI Jakarta, apakah komentar Ahok mengenai kebenaran Al Quran dalam pidatonya di Pulau Pramuka tersebut etis dan pantas untuk diucapkan? Seperti yang kita ketahui, sudah banyak sekali argumen dan statement beliau yang memunculkan banyak kontroversi. Dari ilmu komunikasi yang saya pelajari, saya berpendapat bahwa Gubernur Ibukota Negara kita gagal dalam membentuk komunikasi yang baik. Disini saya sama sekali tidak bertujuan dan memiliki hak untuk merubah sudut pandang pembaca. Saya percaya pembaca memiliki kesadaran diri yang memadai akan kebutuhan dan kepentingan dalam diri masing-masing

            Pagi di hari terjadinya Aksi Bela Negara, kebetulan saya sedang melakukan perjalanan dari Bogor menuju Tangerang menggunakan moda transportasi kereta. Melihat kedatangan saya, sekumpulan ikhwan berjubah dan berbaju koko putih langsung memberikan tempat duduknya dan menjauh beberapa langkah untuk memberi saya ruang dan privasi. Dalam lingkungan sosial sikap mereka begitu santun. Saat duduk menunggu kereta itulah saya baru menyadari bahwa stasiun dipenuhi oleh orang-orang berjubah putih. Begitupun keadaan di stasiun-stasiun lainnya. Saya tidak mengira antusias umat muslim dalam Aksi Bela Agama 411 lalu sangat luar biasa.

            Melihat fenomena tersebut hati saya begitu terenyuh. Wajah-wajah mereka begitu teduh. Dalam perjalanan mereka saling mengucap salam dan berjabat tangan, meskipun tidak saling mengenal. Ada yang melangkah dengan amanah, atau mungkin ada juga beberapa dari mereka yang melangkahkan kaki dengan membawa amarah karena perasaan yang terluka atas penistaan terhadap agamanya. Hal ini masih dalam kewajaran. Keberadaan mereka pun sama sekali tidak mengganggu, hanya saja hari itu transportasi menjadi lebih padat dari biasanya.

            Namun tetap saja, lain orang lain pula setiap sudut pandangnya, tergantung bagaimana  kondisi dan posisi kita, pergaulan dan pengalaman kita, keyakinan dan ilmu kita, yang menjadi realitas yang kita yakini dalam pikiran kita. Ada yang menilai bahwa aksi ini merupakan aksi politik, berlebihan, bahkan menilai umat islam adalah umat yang pemarah. Hari itu berbagai persepsi dan respon muncul, baik dari teman-teman kita yang sesama muslim ataupun non muslim. Tugas kita sebagai umat muslim adalah menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa niat dari aksi ini? Dan mengapa aksi ini perlu kita lakukan? Agar orang-orang disekitar kita, dan teman-teman kita memahami apa yang sedang terjadi dan juga yang berprasangka buruk menjadi terluruskan prasangkanya.

            Kemudian terlintas dalam pikiran saya, dari sekian banyak umat yang bersatu dalam melakukan aksi apakah mereka juga telah menyatukan niat mereka? Siapa yang bisa menjamin bahwa lebih dari satu juta orang disana, secara keseluruhan, apakah betul-betul semata berjuang di jalan Allah? Saya sangat yakin dalam momentum yang sangat sensitif dan dengan keadaan hati yang sedang terganggu, momentum ini akan menjadi gold moment bagi orang-orang yang berniat mencurangi situasi ini.

            Benar saja, hal-hal yang tidak diharapkan terjadi di penghujung aksi. Media dengan kepentingannya membungkus peristiwa dalam berbagai bingkai. Publik tergiring dalam berbagai opini. Tetapi sangat sulit bagi saya untuk mempercayai wajah-wajah teduh yang saya temui di pagi hari itu bisa melakukan tindakan gusar. Provokator pasti telah disusupkan disana. Dugaan saya kemudian dibenarkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang ditayangkan di televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun