Mohon tunggu...
widi rangkuti
widi rangkuti Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Lagi belajar nulis..

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bumi dalam Monokrom, Mimpi Buruk Kehidupan Tanpa Warna Alam

19 Agustus 2024   00:28 Diperbarui: 19 Agustus 2024   08:46 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Freepik (freepik.com)

Kita telah memasuki era Antroposen, sebuah zaman di mana jejak perilaku manusia di muka Bumi begitu mendalam hingga mengubah wajah planet ini secara drastis. Di balik pencapaian luar biasa dalam teknologi dan ilmu pengetahuan, kita menyimpan sebuah tragedi yang mengancam keberlanjutan hidup: hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam istilah yang lebih sederhana, kita sedang meracik resep kepunahan kita sendiri, dengan dampak yang tak terbayangkan bagi kehidupan di Bumi. Tapi, apakah kita benar-benar memahami apa yang akan terjadi jika keanekaragaman hayati ini punah? Atau kita hanya memilih untuk menutup mata dan mengabaikan kenyataan yang mengerikan ini?

Kepunahan dalam Bayangan Antroposen


Keanekaragaman hayati bukanlah sekadar koleksi spesies yang berbeda. Ia adalah jaringan kehidupan yang kompleks, tempat setiap spesies memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Di era Antroposen ini, kita telah merobek jaring kehidupan ini dengan kecepatan yang mencengangkan. Menurut laporan IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services), sekitar satu juta spesies terancam punah dalam beberapa dekade mendatang jika tidak ada tindakan drastis yang diambil (IPBES, 2019). Di sini, kita harus bertanya: “Apakah kita benar-benar layak disebut penghuni Bumi, atau sekadar parasit yang perlahan-lahan menghancurkan inangnya?”

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, berada di garis depan dari bencana ini. Alih-alih menjadi pelindung alam, kita telah menjadi penghancurnya. Hutan tropis yang menyelimuti pulau-pulau besar seperti Kalimantan dan Sumatra, yang dulunya menjadi rumah bagi ribuan spesies, kini kian menyusut akibat deforestasi. Alih fungsi lahan untuk pertanian, perkebunan kelapa sawit, dan penebangan liar telah mengubah bentang alam menjadi monokultur yang miskin akan kehidupan. Konsekuensi yang mengerikan bagi spesies-spesies endemik seperti harimau Sumatra dan orangutan Kalimantan (Greenpeace, 2023). Kepunahan mereka bukan hanya kehilangan satu atau dua spesies, melainkan hilangnya bagian penting dari identitas bangsa dan peradaban kita.

Perubahan Iklim: Pemicu yang Mengakselerasi Kepunahan

Perubahan iklim adalah kekuatan besar yang mengancam untuk mempercepat proses kepunahan. Suhu global yang terus meningkat, perubahan pola curah hujan, dan peningkatan frekuensi bencana alam seperti badai dan banjir adalah tanda-tanda peringatan yang jelas, banyak spesies tidak mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi. Namun, seberapa serius kita menanggapi tanda-tanda ini? Sering kali kita terjebak dalam perdebatan politik tanpa tindakan nyata, sementara ekosistem kita perlahan-lahan terkikis.

Terumbu karang, yang dikenal sebagai “hutan hujan” laut, menjadi korban utama dari pemanasan global. Di Indonesia, pemutihan karang telah menjadi fenomena yang semakin sering terjadi, dengan dampak yang menghancurkan bagi kehidupan laut. Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 50% dari terumbu karang di wilayah Asia Tenggara telah mengalami degradasi parah akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia (Coral Triangle Initiative, 2022). Terumbu karang ini adalah ekosistem yang kompleks dan sangat penting, tidak hanya bagi kehidupan laut, tetapi juga bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka (WWF Indonesia, 2022). Fakta, yang menyedihkan adalah bahwa perubahan iklim ini sebagian besar didorong oleh aktivitas manusia—emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik industri yang tidak berkelanjutan. Dampaknya tidak hanya dirasakan di tempat-tempat yang jauh, tetapi juga di depan pintu kita sendiri.


Meskipun ancaman ini sudah di depan mata, tindakan yang diambil untuk melindungi terumbu karang masih sangat minim. Mengapa? Karena lebih mudah bagi kita untuk terus mengeksploitasi alam daripada mengakui bahwa cara hidup kita perlu diubah secara drastis.

Limbah dan Polusi: Racun yang Tidak Terlihat tetapi Mematikan

Selain perubahan iklim, limbah dan polusi juga berperan besar dalam menghancurkan keanekaragaman hayati. Setiap tahun, diperkirakan 8 juta ton plastik mengalir ke laut, menciptakan apa yang disebut sebagai “lautan plastik”. Lautan yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi kuburan bagi ribuan makhluk hidup laut. Penyu, burung laut, dan ikan sering kali terjebak atau mengkonsumsi plastik, yang akhirnya membawa mereka pada kematian perlahan. Menurut sebuah laporan dari Jambeck et al. (2015), Indonesia adalah kontributor terbesar kedua di dunia untuk pencemaran plastik di laut, hanya kalah dari China. Ini adalah noda besar dalam reputasi kita sebagai negara maritim yang kaya akan sumber daya laut. Sungai-sungai yang mengalir ke laut tidak lagi membawa kehidupan, tetapi racun dari limbah industri yang meracuni air dan tanah, membunuh segala sesuatu yang bergantung padanya.

Permasalahan limbah tidak hanya berhenti di lautan. Polusi udara, yang sering kali kita anggap sebagai masalah perkotaan, sebenarnya memiliki dampak yang jauh lebih luas dan mematikan. Partikel-partikel polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan industri tidak hanya merusak paru-paru manusia, tetapi juga mempengaruhi tumbuhan dan hewan yang hidup di sekitarnya. Sebuah studi dari WHO menyatakan bahwa polusi udara bertanggung jawab atas kematian lebih dari 7 juta orang setiap tahunnya, dengan dampak yang lebih besar di negara-negara berkembang seperti Indonesia (WHO, 2021). Jika kita tidak mampu mengendalikan polusi udara ini, kita akan menyaksikan hilangnya keanekaragaman hayati di kawasan-kawasan yang sebelumnya dianggap aman dari ancaman ini.

Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Tanggung Jawab Siapa?

Krisis keanekaragaman hayati di Indonesia bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari serangkaian kebijakan yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek daripada keberlanjutan lingkungan. Penggundulan hutan, alih fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali adalah beberapa dari sekian banyak praktik yang merusak lingkungan. Siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah sering kali berdalih bahwa eksploitasi ini diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Kenyataannya, apakah pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas reruntuhan alam benar-benar dapat disebut sebagai kemajuan?

Korporasi besar juga memainkan peran yang tidak kalah penting dalam krisis ini. Dalam upaya mereka untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, mereka sering kali mengabaikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Penebangan liar, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, dan pencemaran air dan udara adalah praktik yang lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ini, dengan sedikit atau tanpa konsekuensi hukum. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita masih sangat lemah dalam melindungi lingkungan dan menegakkan keadilan bagi alam.

Meskipun demikian, tanggung jawab tidak hanya ada di tangan pemerintah dan korporasi. Kita sebagai masyarakat juga harus introspeksi. Kita adalah konsumen akhir dari produk-produk yang dihasilkan dari eksploitasi alam ini. Setiap kali kita membeli produk yang tidak ramah lingkungan, kita ikut andil dalam proses penghancuran keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, perubahan gaya hidup yang lebih berkelanjutan harus menjadi prioritas, dimulai dari hal-hal kecil seperti mengurangi penggunaan plastik, beralih ke energi terbarukan, dan mendukung produk-produk lokal yang berkelanjutan.


Masa Depan Keanekaragaman Hayati

Masa depan keanekaragaman hayati kita tampaknya suram jika kita terus berjalan di jalur yang sama. Namun, di tengah-tengah krisis ini, masih ada harapan. Inisiatif seperti restorasi hutan, perlindungan kawasan konservasi, dan pengurangan emisi gas rumah kaca adalah langkah-langkah yang dapat membantu mengembalikan keseimbangan ekosistem. Namun, ini hanya akan berhasil jika kita melakukannya dengan serius dan konsisten.

Kerjasama global juga sangat penting. Indonesia tidak bisa bertindak sendiri dalam menghadapi krisis ini. Kita memerlukan dukungan dari komunitas internasional, baik dalam bentuk teknologi, pendanaan, maupun penegakan hukum. Konferensi internasional seperti COP (Conference of the Parties) yang membahas perubahan iklim harus menjadi momentum untuk memperkuat komitmen global dalam melindungi keanekaragaman hayati.

Namun, semua upaya ini akan sia-sia jika tidak didukung oleh kesadaran dan pendidikan yang memadai. Masyarakat perlu disadarkan bahwa menjaga keanekaragaman hayati bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Program pendidikan lingkungan harus diperkuat di semua tingkat, dari sekolah dasar hingga universitas. Hanya dengan pendidikan yang baik, kita dapat membentuk generasi yang peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) yang diratifikasi oleh Indonesia adalah langkah awal yang baik, tetapi implementasi dan penegakan aturan harus lebih tegas dan efektif (CBD, 2021).

Kesimpulan

Kehidupan di Bumi tanpa keanekaragaman hayati adalah mimpi buruk yang bisa menjadi kenyataan jika kita tidak segera bertindak. Spesies yang hilang tidak akan pernah kembali, dan kerusakan yang terjadi mungkin tidak dapat diperbaiki. Kita harus mengambil langkah-langkah konkret untuk menghentikan kepunahan massal yang sedang berlangsung dan memastikan bahwa Bumi tetap menjadi tempat yang penuh warna dan kaya akan kehidupan bagi semua makhluk.

Mengakhiri mimpi buruk ini membutuhkan keberanian dan komitmen dari kita semua. Kita harus bersatu untuk melindungi keanekaragaman hayati kita dan menjaga warisan alam ini bagi generasi mendatang. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa Bumi tetap penuh warna, kaya akan kehidupan, dan layak untuk dihuni.

Referensi:

Assidiq, H., Al Mukarramah, N. H., & Bachril, S. N. (2021, November). Threats to the sustainability of biodiversity in Indonesia by the utilization of forest areas for national strategic projects: A normative review. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 886, No. 1, p. 012071). IOP Publishing.

Hoegh-Guldberg, O., Pendleton, L., & Kaup, A. (2019). People and the changing nature of coral reefs. Regional Studies in Marine Science, 30, 100699.

IPBES, W. (2019). Intergovernmental science-policy platform on biodiversity and ecosystem services. Summary for Policy Makers of the Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. IPBES Secretariat, Bonn, Germany.

Jambeck, J.R., et al. (2015). Plastic waste inputs from land into the ocean. Science, 347(6223), 768-771.

McLeod, E., et al. (2010). Warming seas in the coral triangle: coral reef vulnerability and management implications. Coastal Management, 38(5), 518-539.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun