Mohon tunggu...
WIDI NAUFAL
WIDI NAUFAL Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di salahsatu universitas di jatinangor

Seorang pegiat seni, memiliki minat di bidang audio dan visual

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Membangun Ruang Ekspresi, Kunci Mengatasi Vandalisme di Kota Bandung

4 Juli 2024   00:04 Diperbarui: 4 Juli 2024   00:12 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pemuda tertangkap usai melakukan aksi vandalisme, sumber: https://era.id/news/116999/apa-itu-vandalisme


Fenomena vandalisme remaja di Kota Bandung telah menjadi cermin kompleks dari berbagai permasalahan yang mengakar dalam masyarakat. Sebagai jurnalis yang telah lama mengamati dinamika sosial kota ini, saya melihat coretan-coretan di tembok bukan sekadar aksi perusakan, melainkan manifesto visual dari kegelisahan dan frustrasi generasi muda terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil dan tidak akomodatif.

Data dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung menunjukkan kenaikan kasus vandalisme sebesar 30% sepanjang tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, dengan mayoritas pelaku berusia 15-21 tahun. Angka ini merepresentasikan ribuan suara muda yang merasa terpinggirkan dan tidak didengar. Setiap coretan adalah teriakan tanpa suara yang menyuarakan keberadaan mereka di tengah hiruk pikuk kota yang seringkali abai terhadap kebutuhan mereka.

Kinoy, salah satu pelaku vandalisme, mengungkapkan bahwa aksi mereka bukan sekadar iseng, melainkan cara untuk didengar dan memberontak terhadap sistem yang mereka rasa tidak adil. Pernyataan ini menyiratkan adanya jurang komunikasi yang lebar antara generasi muda dengan institusi-institusi sosial, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara umum. Ketika saluran komunikasi konvensional tidak lagi efektif, tembok kota menjadi medium alternatif untuk menyuarakan aspirasi.

Meski pihak kepolisian mengambil sikap tegas, penting dipahami bahwa pendekatan represif semata tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Bripda Bagas dari Polda Jawa Barat menekankan pentingnya pendekatan preventif dan kerjasama antar pihak, menunjukkan kesadaran bahwa vandalisme bukan hanya masalah hukum, tetapi juga isu sosial yang memerlukan solusi komprehensif.

Upaya Pemerintah Kota Bandung melalui "Bandung Street Art Project" patut diapresiasi sebagai langkah awal menyalurkan kreativitas remaja. Namun, fakta bahwa Kinoy dan kawan-kawannya merasa program ini belum cukup menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang ditawarkan pemerintah dengan kebutuhan aktual remaja. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah kota untuk mengevaluasi dan memperbaiki program-program kepemudaan agar lebih tepat sasaran.

Pernyataan Kinoy bahwa mereka butuh lebih dari sekadar tembok legal dan ingin suara mereka didengar dalam pengambilan keputusan menyoroti urgensi menciptakan ruang partisipasi yang lebih inklusif bagi generasi muda. Ini bukan hanya tentang memberi kesempatan berekspresi secara artistik, tetapi juga melibatkan mereka aktif dalam proses sosial dan politik yang membentuk masa depan kota.

Setiawan, seorang aktivis sosial, melihat vandalisme sebagai simptom, bukan akar masalah. Pandangan ini membuka perspektif baru dalam memahami fenomena ini. Alih-alih hanya fokus pada tindakan perusakan, kita perlu menggali lebih dalam motivasi dan pesan di balik coretan-coretan tersebut. Setiap goresan cat mungkin menyimpan narasi tentang mimpi yang terbengkalai, aspirasi yang teredam, atau kritik sosial terhadap ketimpangan yang mereka saksikan sehari-hari.

Usulan Setiawan untuk melibatkan remaja dalam proses perencanaan kota adalah ide brilian yang patut dipertimbangkan serius. Memberikan kesempatan berkontribusi positif dalam pembentukan wajah kota bisa menjadi langkah awal membangun rasa memiliki dan mengurangi keinginan melakukan vandalisme. Bayangkan jika energi kreatif yang selama ini dituangkan dalam vandalisme bisa diarahkan untuk merancang taman kota ramah remaja atau menciptakan ruang publik yang mengakomodasi kebutuhan ekspresi mereka.

Inisiatif beberapa komunitas di Bandung yang melibatkan remaja dalam kegiatan positif seperti pembersihan kota dan perancangan taman publik adalah contoh baik bagaimana energi dan kreativitas remaja bisa diarahkan ke hal-hal konstruktif. Namun, ini baru langkah awal. Diperlukan upaya lebih sistematis, berkelanjutan, dan didukung penuh oleh pemerintah serta berbagai elemen masyarakat untuk benar-benar mengatasi akar permasalahan vandalisme.

Fenomena vandalisme ini bukan hanya tentang coretan di tembok. Ini adalah cermin dari dinamika sosial yang lebih luas, mencakup isu-isu seperti kesenjangan sosial, kurangnya ruang publik ramah remaja, sistem pendidikan yang kurang akomodatif terhadap kebutuhan eksplorasi diri para remaja, hingga absennya platform memadai bagi generasi muda untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Vandalisme, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai bentuk resistensi terhadap marginalisasi yang dirasakan para remaja. Ketika mereka merasa suara mereka tidak didengar melalui saluran formal, tembok kota menjadi kanvas impromptu untuk meneriakkan eksistensi mereka. Setiap coretan adalah upaya merebut kembali ruang publik yang mereka rasa telah direnggut dari mereka.

Tantangan bagi Bandung, dan mungkin juga kota-kota lain di Indonesia, adalah bagaimana mentransformasikan energi pemberontakan ini menjadi kekuatan positif yang membangun. Ini bukan tugas mudah dan memerlukan komitmen jangka panjang serta kerjasama dari berbagai pihak. Diperlukan pendekatan holistik yang tidak hanya melihat vandalisme sebagai masalah keamanan dan ketertiban, tetapi juga sebagai isu sosial, pendidikan, dan bahkan ekonomi.

Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan kepemudaan dan memastikan suara generasi muda benar-benar didengar dalam proses pengambilan keputusan. Lembaga pendidikan harus berperan lebih aktif dengan memikirkan ulang kurikulum dan metode pengajaran agar lebih responsif terhadap kebutuhan eksplorasi diri dan kreativitas remaja. Masyarakat secara umum juga perlu membuka diri dan memberikan ruang bagi ekspresi generasi muda, memandang mereka sebagai aset berharga dengan potensi luar biasa untuk membangun kota.

Media massa, termasuk para jurnalis, memiliki peran penting dalam membingkai narasi seputar isu vandalisme ini. Alih-alih hanya melaporkannya sebagai tindak kriminal, kita perlu menggali lebih dalam motivasi di baliknya dan menyoroti isu-isu sosial yang lebih luas yang menjadi akar masalahnya.

Vandalisme remaja di Bandung adalah wake-up call bagi kita semua untuk memikirkan ulang bagaimana kita membangun kota, mendidik generasi muda, dan menciptakan ruang-ruang publik yang inklusif dan akomodatif terhadap kebutuhan semua warga kota, termasuk para remaja.

Dengan komitmen bersama dan pendekatan yang tepat, kita bisa mengubah tantangan ini menjadi kesempatan untuk membangun Bandung yang lebih baik, lebih inklusif, dan lebih siap menghadapi masa depan. Mungkin suatu hari nanti, tembok-tembok Kota Bandung akan dihiasi bukan oleh coretan vandalisme, melainkan karya seni yang membanggakan, hasil kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan para remaja. Ketika hari itu tiba, kita bisa mengatakan bahwa kita telah berhasil mengubah pemberontakan menjadi inspirasi, kemarahan menjadi kreativitas, dan yang terpenting, kita telah berhasil menciptakan kota yang benar-benar inklusif dan ramah bagi semua warganya, termasuk mereka yang pernah merasa terpinggirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun