Fenomena vandalisme remaja di Kota Bandung telah menjadi cermin kompleks dari berbagai permasalahan yang mengakar dalam masyarakat. Sebagai jurnalis yang telah lama mengamati dinamika sosial kota ini, saya melihat coretan-coretan di tembok bukan sekadar aksi perusakan, melainkan manifesto visual dari kegelisahan dan frustrasi generasi muda terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil dan tidak akomodatif.
Data dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung menunjukkan kenaikan kasus vandalisme sebesar 30% sepanjang tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, dengan mayoritas pelaku berusia 15-21 tahun. Angka ini merepresentasikan ribuan suara muda yang merasa terpinggirkan dan tidak didengar. Setiap coretan adalah teriakan tanpa suara yang menyuarakan keberadaan mereka di tengah hiruk pikuk kota yang seringkali abai terhadap kebutuhan mereka.
Kinoy, salah satu pelaku vandalisme, mengungkapkan bahwa aksi mereka bukan sekadar iseng, melainkan cara untuk didengar dan memberontak terhadap sistem yang mereka rasa tidak adil. Pernyataan ini menyiratkan adanya jurang komunikasi yang lebar antara generasi muda dengan institusi-institusi sosial, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara umum. Ketika saluran komunikasi konvensional tidak lagi efektif, tembok kota menjadi medium alternatif untuk menyuarakan aspirasi.
Meski pihak kepolisian mengambil sikap tegas, penting dipahami bahwa pendekatan represif semata tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Bripda Bagas dari Polda Jawa Barat menekankan pentingnya pendekatan preventif dan kerjasama antar pihak, menunjukkan kesadaran bahwa vandalisme bukan hanya masalah hukum, tetapi juga isu sosial yang memerlukan solusi komprehensif.
Upaya Pemerintah Kota Bandung melalui "Bandung Street Art Project" patut diapresiasi sebagai langkah awal menyalurkan kreativitas remaja. Namun, fakta bahwa Kinoy dan kawan-kawannya merasa program ini belum cukup menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang ditawarkan pemerintah dengan kebutuhan aktual remaja. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah kota untuk mengevaluasi dan memperbaiki program-program kepemudaan agar lebih tepat sasaran.
Pernyataan Kinoy bahwa mereka butuh lebih dari sekadar tembok legal dan ingin suara mereka didengar dalam pengambilan keputusan menyoroti urgensi menciptakan ruang partisipasi yang lebih inklusif bagi generasi muda. Ini bukan hanya tentang memberi kesempatan berekspresi secara artistik, tetapi juga melibatkan mereka aktif dalam proses sosial dan politik yang membentuk masa depan kota.
Setiawan, seorang aktivis sosial, melihat vandalisme sebagai simptom, bukan akar masalah. Pandangan ini membuka perspektif baru dalam memahami fenomena ini. Alih-alih hanya fokus pada tindakan perusakan, kita perlu menggali lebih dalam motivasi dan pesan di balik coretan-coretan tersebut. Setiap goresan cat mungkin menyimpan narasi tentang mimpi yang terbengkalai, aspirasi yang teredam, atau kritik sosial terhadap ketimpangan yang mereka saksikan sehari-hari.
Usulan Setiawan untuk melibatkan remaja dalam proses perencanaan kota adalah ide brilian yang patut dipertimbangkan serius. Memberikan kesempatan berkontribusi positif dalam pembentukan wajah kota bisa menjadi langkah awal membangun rasa memiliki dan mengurangi keinginan melakukan vandalisme. Bayangkan jika energi kreatif yang selama ini dituangkan dalam vandalisme bisa diarahkan untuk merancang taman kota ramah remaja atau menciptakan ruang publik yang mengakomodasi kebutuhan ekspresi mereka.
Inisiatif beberapa komunitas di Bandung yang melibatkan remaja dalam kegiatan positif seperti pembersihan kota dan perancangan taman publik adalah contoh baik bagaimana energi dan kreativitas remaja bisa diarahkan ke hal-hal konstruktif. Namun, ini baru langkah awal. Diperlukan upaya lebih sistematis, berkelanjutan, dan didukung penuh oleh pemerintah serta berbagai elemen masyarakat untuk benar-benar mengatasi akar permasalahan vandalisme.
Fenomena vandalisme ini bukan hanya tentang coretan di tembok. Ini adalah cermin dari dinamika sosial yang lebih luas, mencakup isu-isu seperti kesenjangan sosial, kurangnya ruang publik ramah remaja, sistem pendidikan yang kurang akomodatif terhadap kebutuhan eksplorasi diri para remaja, hingga absennya platform memadai bagi generasi muda untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Vandalisme, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai bentuk resistensi terhadap marginalisasi yang dirasakan para remaja. Ketika mereka merasa suara mereka tidak didengar melalui saluran formal, tembok kota menjadi kanvas impromptu untuk meneriakkan eksistensi mereka. Setiap coretan adalah upaya merebut kembali ruang publik yang mereka rasa telah direnggut dari mereka.