"Ada, tunggu saja," jawab abang parkir itu.
Kemudian ia mengetuk pagar besi sebagai kode agar karyawan gerai di dalam area pabrik bisa tahu kalau ada pembeli datang. Sejurus kemudian seorang karyawan pria datang dan menghampiri saya yang terpisahkan pagar besi.
Tanpa membuka pagar, ia menunjukkan daftar menu kepada saya. Ia pun menjelaskan varian mana saja yang tersedia dan sudah habis.
"Oke, saya ice cream cone dua, satu rasa cokelat, satu vanilla. Satu lagi yang cup rasa vanilla," pesan saya.
Pria itu pun mencatat pesanan saya dan menghitung total berapa rupiah yang harus saya bayar. Untuk harga ice cream cone satunya 12 ribu rupiah, dan satu cup ice cream harganya 9 ribu rupiah.
Saya harus membayar cash untuk transaksi itu. Setelahnya, pria itu masuk ke dalam gerai untuk menyiapkan pesanan saya.
Beberapa menit kemudian ia pun kembali mendatangi saya sambil membawa es krim yang saya pesan beserta uang kembaliannya.
Sebenarnya sangat disayangkan kondisi pabrik dan gerai penjualan es krim Woody yang sepi seperti itu. Seolah menunggu waktu untuk benar-benar terlindas oleh zaman.
Jika ditilik dari sisi harga mungkin ada yang menganggap lebih mahal dibanding produk dengan varian sejenis yang dijual di minimarket. Tetapi, ketika lidah ini menikmati es krim yang lembut itu, ada pengakuan jujur bahwa harganya memang sepadan dengan rasa nikmatnya.