Sebenarnya sudah lama saya ingin mencoba bubur ayam yang selalu ramai di seberang gedung Landmark, Jakarta itu. Karena lokasinya, bubur ayam khas Cirebon itu pun dikenal dengan nama bubur Landmark, yang selalu mangkal di tepi jalan dari jam 6 pagi sampai ludes antara jam 8-9 pagi.
Pagi itu pun, saya berniat menjajal bubur ayam yang termasuk jajaran "legend" di Kota Jakarta. Dari Stasiun Sudirman, keluar lewat pintu atas dan ketemulah trotoar Jalan Sudirman, belok kiri hingga ketemu patung Jenderal Sudirman yang tersohor itu.
Tengoklah ke sebelah kiri bawah, tampaklah beberapa gerobak PKL dan yang paling dikerumuni oleh banyak orang sudah pasti bubur Landmark.
Saya mendekat, bergabung dengan orang-orang yang terlebih dulu antre. Rupanya mereka adalah para karyawan di perkantoran sekitar Dukuh Atas-Sudirman yang belum sarapan.
Namun, ternyata ada pula pembeli yang jauh-jauh memang sengaja datang ke sini karena penasaran dengan bubur ayam yang sempat viral di media sosial itu.
"Saya dari Pekanbaru Pak, pengen nyoba buburnya," ujar seorang ibu yang datang dengan beberapa rekannya.
Antrean pembeli bubur ayam ini memang luar biasa. Saya sarankan jangan pernah ke sini jika Anda punya kesabaran setipis tisu.Â
Jangan ke sini pula bagi karyawan kantoran yang jam kerjanya harus masuk tepat jam 8 teng. Dijamin bakal deg-degan ngelirik jam mulu gara-gara buburnya lama dinanti.
Dua orang Mamang yang melayani pembeli saat itu, terlihat sudah bekerja secepat mungkin meracik bubur, tapi tetap saja saking banyaknya porsi yang harus disiapkan bakal terasa lama bagi pembeli yang antre.
Salah satu yang membuat bubur ayam ini unik dan beda adalah cara penyajiannya. Semua pembeli dilayani dengan bubur yang beralaskan kertas makan coklat.Â
Jika pembeli meminta bungkus dan dibawa ke kantornya, maka Mamang Bubur akan melipat dan membungkusnya dalam kemasan kertas. Tapi jika pembeli berniat makan di tempat, bubur tetap tersaji di atas kertas makan beralaskan mangkuk ayam jago dan silakan menikmatinya secara lesehan di tepian trotoar.
Selain cara penyajian, tampilan bubur ayam Landmark juga berbeda dengan bubur ayam pada umumnya. Topping kerupuknya terlihat melimpah ruah, ditambah remukan emping yang semakin bikin ramai.
Sebelum ditaburi kerupuk dan emping, isian bubur Landmark yang default terdiri dari irisan cakwe, kacang kedelai goreng, suwiran daging ayam, bawang goreng, dan sambal merah. Untuk sajian bubur ayam lengkap, kita tinggal bilang "campur" sebagai kode resmi yang dipahami Mamang penjual.
Sedangkan untuk pesanan khusus seperti nggak pakai kacang, nggak pakai krupuk, nggak pakai lada, kecapnya banyakin, atau nggak pakai emping, biasanya perlu lebih mendekat kepada Mamang penjualnya agar tidak salah penafsiran. Ya, padahal pesanan yang personal seperti itu secara tidak langsung bakal bikin Mamangnya berpikir lebih effort dan menambah durasi penyajian.
Kalau saya mah lebih suka pesan "campur" yang memang sudah setelan pabriknya. Dengan demikian saya bakal tahu keistimewaan rasa dari bubur ayam ini. Kecuali soal sambal, karena memang takaran sambalnya selalu ditanyakan penjual.
"Sambalnya berapa sendok ini?" tanya Mamang penjual kepada satu per satu pembeli yang antre.
Ada yang jawab 1 sendok, 2 sendok, 3 sendok dan seterusnya, karena memang takaran sambalnya adalah sendok makan. Lumayan lega ketika menerima pertanyaan seperti itu, artinya pesanan bubur saya hampir selesai.
Sebenarnya mungkin bisa lebih cepat selesai, tapi karena yang namanya pembeli maunya beragam jadi
Hampir 30 menit saya berdiri mengantre sebelum akhirnya seporsi bubur ayam itu berada di tangan saya dan siap santap. Menatap tampilannya, sepertinya agak sulit bagi orang yang beraliran "bubur ayam diaduk" untuk mengaduknya sebelum dimakan.
Untungnya, saya termasuk aliran normal, nggak usah diaduk yang penting pelan-pelan dinikmati dari mulai krupuk, emping, baru bagian tengahnya akan berkolaborasi dengan sendirinya tanpa diaduk-aduk paksa.
Seporsi bubur ayam Landmark dengan topping "barbar" seperti itu harganya 15 ribu rupiah. Sayangnya saat saya datang pagi itu, lauk pelengkap berupa sate-satean yaitu sate usus, sate ampela, dan telur puyuh sedang absen.
"Lagi kosong Pak dari kemarin, belum buat lagi," ucap si Mamang.
Okelah, bisa dimaklumi, barangkali karena akhir tahun harga-harganya lagi naik. Tapi tanpa lauk sate-satean pun seporsi bubur ayam Landmark sudah mengenyangkan dan memang cocok untuk sarapan bagi pekerja yang bakal berjibaku dengan rutinitas pekerjaannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI