Datanglah ke Bandung, singgahlah ke Jalan Braga dan temukan suasana romantis di sana. Ungkapan seperti itu pernah saya dengar dan setidaknya turut membuat saya menyimpulkan bahwa wajah utama Bandung di mata wisatawan adalah Jalan Braga.
Maka ketika pekan lalu saya mengayunkan langkah menyusuri Jalan Braga, ada harapan membuncah bahwa saya akan merasakan atmosfer yang Bandung banget, adem, dan sebagai tempat healing yang paripurna.
Kawasan Braga memang masih menawarkan daya magis. Sepanjang jalan dari Gedung LKBN Antara yang legendaris hingga perempatan Jalan Perintis Kemerdekaan, menawarkan nuansa vintage yang telah melebur dengan arus modernitas dan komersialisme.
Gedung-gedung art deco bergaya Eropa, masih terawat dan difungsikan dengan baik, Tak lekang dilindas zaman, dan bahkan nuansa eksotisnya dinanti sebagai latar berfoto.
Kalau boleh jujur, sepanjang Jalan Braga telah menjelma menjadi semacam magnet penyedot uang di dompet maupun saldo di rekening pengunjung.
Berderet sepanjang Jalan Braga, simbol-simbol komersialisme yang tersaji dalam bentuk kafe, resto, toko roti, es krim, hingga photo booth.
Tak ada salahnya juga jika pengunjung atau wisatawan datang ke Braga dan mencicipi kopi, ngemil roti atau sekedar menikmati es krim dengan nuansa yang berbeda dengan tempat lainnya. Justru itulah daya tarik Jalan Braga, tak lengkap nongkrong tanpa ngobrol dan mengunyah.
Namun, bagi saya mungkin hanya mih kocok Mang Dadeng yang menampilkan identitas khas Bandung yang kental di Jalan Braga dibandingkan sajian kuliner lainnya.
Ya, barangkali dibandingkan saat terakhir kali berkunjung ke kawasan Braga beberapa tahun silam, saat ini Jalan Braga lebih terasa makin "turis-able".
Orang-orang yang lalu lalang di sepanjang Jalan Braga, terlihat mencolok sebagai para pelancong dari luar daerah, bahkan saya menjumpai orang-orang dari negara jiran yang penasaran menikmati Jalan Braga.
Mungkin hanya bapak-bapak Satpol PP yang berjaga di banyak titik sepanjang Jalan Braga yang saat itu saya yakini sebagai warga lokal, bukan pendatang.
Mereka berjaga dan memastikan agar tidak ada pengamen dan PKL hadir di jalan itu.
Ah, padahal seingat saya dulu, di Jalan Braga itu muncul jajanan jalanan yang dijual  mamang-mamang PKL, dan itu bagi saya lebih terasa Bandung dibandingkan jajanan di balik etalase toko dan kafe.
Jalan Braga di penghujung tahun 2024 ini memang lebih rapi, tertata, bebas dari pengamen dan PKL, serta bebas dari kendaraan bermotor ketika akhir pekan. Mungkin, Jalan Braga sudah terlalu "turis" bagi saya yang levelnya hanya mamang-mamang gerobakan.
Sebagai kawasan yang memang didesain untuk menjaring sebanyak-banyaknya wisatawan, barangkali wajah Jalan Braga terkini memang sudah paling ideal. Banyaknya photo booth adalah bukti bahwa profil wisatawan yang datang memang haus untuk berfoto.
Demikian juga ketika muncul tempat uji nyali berlabel 'rumah hantu', mengingatkan saya konsep serupa di beberapa titik di Jalan Malioboro dan ikon-ikon wisata di beberapa daerah lain.
Namun, sekali lagi ini soal selera pribadi, penyesalan kali ini ketika menyambangi Braga adalah kegagalan saya menemukan bubur ayam khas Sunda yang mangkal dengan gerobaknya. Ya, mau gimana lagi, selera makan saya mungkin masih di level jajanan PKL dan sulit rasanya menikmati bubur serupa di ruangan ber-AC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H