Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Waktu Terasa Berhenti di Pasar Kranggan Jogja

24 November 2024   22:59 Diperbarui: 25 November 2024   16:01 20911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual lauk matang, ada krecek dan buntil (foto: widikurniawan)

Jika kawasan Malioboro menjadi magnet menghabiskan senja dan malam di Yogyakarta, maka sebaiknya jangan terlewat mengunjungi Pasar Kranggan di pagi hari.

Ya, pasar tradisional yang hanya selemparan batu dari Tugu Jogja yang kesohor itu, bakal melengkapi pengalaman berkunjung para wisatawan yang datang ke Yogyakarta.

Wisatawan lokal menyerbu lapak di Pasar Kranggan (foto: widikurniawan)
Wisatawan lokal menyerbu lapak di Pasar Kranggan (foto: widikurniawan)

Pun demikian bagi saya. Jika beberapa tahun lalu saya adalah anak kos yang mager untuk datang ke tempat seperti ini, maka kini saya seolah menjelma jadi wisatawan jika singgah ke Jogja dan Pasar Kranggan seolah jadi tempat menyenangkan untuk didatangi.

Maka, pagi itu usai menyantap sarapan soto ayam di bilangan Jalan Sudirman, saya bergeser ke Jalan Diponegoro yang masih satu ruas jalan dengan niat untuk terus memanjakan perut.

Aneka jajanan pasar (foto: widikurniawan)
Aneka jajanan pasar (foto: widikurniawan)

Sebagai pasar tradisional, Pasar Kranggan rupanya berangsur-angsur telah bertransformasi sebagai salah satu tujuan wisata kuliner.

Lapak-lapak pedagang kebutuhan pokok seperti sayur dan sembako memang masih ada di bagian dalam.

Namun, di teras lantai dasar pedagang jajanan dan makanan legendaris menguasai area.

Sedangkan di lantai 2, bermunculan kios-kios dengan makanan lebih modern seperti roti, ramen, hingga kopi. Area ini lebih cocok bagi kalangan Gen Z untuk nongkrong.

Jenang delapan rasa (foto: widikurniawan)
Jenang delapan rasa (foto: widikurniawan)

Oke, berhubung kios-kios di area lantai 2 lebih banyak yang buka siang bahkan sore hari, saya pun lebih fokus berburu di lantai dasar.

Bagi yang sengaja mencari sarapan, maka menu soto ayam, sop sapi, hingga gudeg bisa menjadi pilihan untuk makan on the spot.

Tapi bagi yang butuh asupan ngemil, sangat banyak pilihan jajanan yang menggoda.

Gudeg Bu Rus siap melayani Anda (foto: widikurniawan)
Gudeg Bu Rus siap melayani Anda (foto: widikurniawan)

Cemilan yang terbilang paling favorit di sini adalah bihun goreng dan capjae jawa.

Ibu penjualnya baru buka lapak mulai jam 8 pagi, dan sebelum buka pun sudah banyak pengunjung yang antre untuk membeli.

Antrean di penjual bihun goreng dan capjae jawa (foto: widikurniawan)
Antrean di penjual bihun goreng dan capjae jawa (foto: widikurniawan)

Apa itu capjae jawa? Jika cap cay pada umumnya dihuni sayuran, maka capjae jawa berintikan tepung goreng lembut yang diiris-iris.

Bagi saya tentu nostalgia karena emak dulu sering memasak capjae jawa.

Penampakan capjae jawa dicampur bihun goreng (foto: widikurniawan)
Penampakan capjae jawa dicampur bihun goreng (foto: widikurniawan)

Sebungkus capjae jawa atau bihun goreng, atau bahkan kombinasi keduanya, dihargai cukup murah, lima ribu rupiah saja.

Ditambah sambal yang pedasnya wow, jajanan ini memang wajar jika selalu membuat orang-orang rela mengantre.

Menyusuri lorong-lorong di teras Pasar Kranggan, sangat dimaklumi jika langkah kita bakal selalu tersendat dan mata kita seolah tertambat ke aneka jajanan dan minuman yang menggoda.

Jamu tradisional (foto: widikurniawan)
Jamu tradisional (foto: widikurniawan)

Saya bahkan sudah sempat minum jamu tradisional yang dijajakan seorang ibu dengan sepeda tuanya, tapi lima menit kemudian seolah mulut ini tak bisa dikontrol karena tiba-tiba memesan es dawet yang menggiurkan.

Adapun tentengan di tangan saya sudah ada sebungkus kerupuk karak seharga sepuluh ribu dari nenek tua yang begitu ramah.

Ada pula lima biji tahu gembus bacem dan tahu bacem biasa yang bakal menjadi buah tangan saya saat pulang ke rumah.

Juga tak ketinggalan roti isi pisang seharga seribu rupiah per bijinya. Roti jadul yang turut pula memantik memori masa kecil saya.

Penjual lauk matang, ada krecek dan buntil (foto: widikurniawan)
Penjual lauk matang, ada krecek dan buntil (foto: widikurniawan)

Jika ingin membawa buah tangan lebih berat, maka sekotak ayam kampung atau bebek goreng utuh bisa menjadi pilihan.

Beberapa penjual mengemasnya dalam kotak karton maupun besek dan dihargai di kisaran harga 85 ribu rupiah.

"Bisa tahan 2 hari kok Mas, bisa dibawa ke Jakarta kalau mau. Tapi nanti di rumah jangan digoreng lagi karena nanti jadi kaku, sebaiknya dikukus saja kalau mau anget," ujar si ibu penjual ayam goreng.

Seekor ayam goreng siap dibawa pulang (foto: widikurniawan
Seekor ayam goreng siap dibawa pulang (foto: widikurniawan

Pada akhirnya, sekitar 2 jam berkeliling Pasar Kranggan terasa singkat rasanya, bahkan bisa jadi waktu sempat berhenti saat saya menjelajahinya.

Sedangkan lidah ini seolah bergembira dan terus menari, serta tiba-tiba saja perut ini sudah terasa kenyang.

Dan itulah mengapa Jogja selalu terasa istimewa, bahkan di lapak-lapak sederhana di sebuah pasar tradisional bisa membuat seseorang ingin datang kembali di lain waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun