Pelabuhan laut selalu membuat saya seperti berada di dunia lain yang menarik. Tak terkecuali saat saya menyambangi Pelabuhan Bastiong, Ternate, Maluku Utara pada beberapa hari lalu.
Setelah sekian tahun berlalu, saya kembali merasakan atmosfer pelabuhan laut dengan segala hiruk pikuknya.
Kapal yang berlabuh, perahu-perahu yang tertambat di dermaga, lalu lalang orang, teriakan-teriakan memanggil, suara kendaraan bermotor, hingga suara-suara alam seperti hembusan angin, suara burung, dan lain-lainnya, bercampur aduk menandakan kesibukan pelabuhan di sore hari itu.
Pelabuhan penyeberangan Bastiong merupakan pelabuhan terbesar di Kota Ternate yang sering pula disebut sebagai Pelabuhan Ferry Bastiong. Dari sinilah pulau-pulau di sekitar Pulau Ternate dan Maluku Utara terhubung, antara lain ke Sofifi di Pulau Tidore yang secara administrasi sudah menjadi ibu kota Provinsi Maluku Utara.
Ada pula kapal atau perahu yang melayani penyeberangan ke Batang Dua di Pulau Gureda, lalu ke Sidangole di Halmahera Barat, bahkan sampai ke Pulau Bitung di Provinsi Sulawesi Utara.
Sementara, sore itu saya berada di Pelabuhan Bastiong untuk melakukan perjalanan pulang pergi ke Pelabuhan Rum di Pulau Tidore. Perjalanan dari Bastiong ke Rum menggunakan perahu cepat atau speed boat hanya memakan waktu kurang dari 15 menit.
Jika ingin menyeberang menggunakan speed boat, ada dua pilihan untuk menyewa atau charter dengan harga khusus, atau naik angkutan umum speed boat dengan jam keberangkatan yang sudah ditentukan.
Semakin sore, suasana Pelabuhan Bastiong seolah semakin sibuk dengan beragam aktivitas. Lepas jam kerja, sekitar pukul 17 waktu setempat, kapal ferry yang membawa penumpang dari Sofifi terlihat bersandar dan menurunkan penumpang.
Terlihat banyak di antaranya adalah para pegawai pemerintah yang berkantor di Sofifi, tetapi tinggal di Ternate. Ya, mereka adalah para penglaju via jalur laut.
Jika selama ini saya terbiasa merasakan dan melihat para penglaju di Jakarta dan sekitarnya, menggunakan moda bus atau kereta listrik, kali ini saya melihat sendiri bagaimana para pencari nafkah yang mengandalkan angkutan laut untuk berangkat dan pulang kerja.
Nadi kehidupan di Pelabuhan Bastiong menampilkan denyut yang menggambarkan betapa tak semudah itu hidup berjalan di daerah kepulauan.
Puluhan sepeda motor yang antre naik kapal untuk menyeberang, menggambarkan situasi yang berbeda dengan daerah-daerah perkotaan yang akses antarkota tak terpisah lautan.
Kemudian mobil ekspedisi atau pengantar paket yang mengoper bawaannya, menggambarkan tak semudah itu perjalanan barang antarpulau. Barangkali ketika ada orang dari Pulau Tidore yang berbelanja online dari Jakarta, bisa jadi ongkos kirimnya lebih mahal dibandingkan harga barang itu sendiri.
Maka bersyukurlah wahai online shopper yang hanya membayar 8 ribu atau 10 ribu rupiah untuk ongkos kirim saat berbelanja online.
Sore itu, di Pelabuhan Bastiong, mata saya juga merekam momen ketika sembako dan barang-barang kebutuhan masyarakat di seberang pulau harus dialihkan ke kapal atau perahu. Para pekerja atau buruh di pelabuhan tampak sibuk mengangkat dan memindahkan barang-barang tersebut.
Momen semacam itu, membuat diri ini merenung. Betapa konektivitas daerah teramat penting, dan betapa tidak mudahnya satu barang berpindah dari produsen ke konsumen.
Sore di Pelabuhan Bastiong, Ternate, kembali membuka mata dan menyadarkan saya tentang arti bersyukur sekaligus harapan tentang masa depan negeri ini yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H