Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Terima Kasih Tim Olimpiade Indonesia, yang Nyinyir Silakan Minggir

12 Agustus 2024   16:19 Diperbarui: 12 Agustus 2024   16:30 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Blunder Metro TV (Sumber: twitter @ainurohman)

Olimpiade Paris 2024 resmi ditutup. Kontingen Indonesia yang berkekuatan 29 atlet dan turun di 12 cabang olahraga, mampu meraih hasil akhir sebanyak 2 emas dan 1 perunggu.

Prestasi 2 emas kali ini sebenarnya menyamai raihan bersejarah 32 tahun lalu, terakhir kali Indonesia meraih 2 emas melalui Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma.

Sayangnya, kegemilangan tim Indonesia di Paris, kurang mendapat apresiasi semestinya. Entah mengapa masih banyak komentar miring yang dengan entengnya meluncur di media sosial, bahkan di media mainstream sekalipun.

Media sekelas Metro TV bahkan sempat blunder dengan menyebut medali perunggu yang diraih Gregoria Mariska Tunjung sebagai medali giveaway. Meskipun sudaf meminta maaf, hal ini menjadi indikasi bahwa masih ada saja yang masih meremehkan capaian sesama anak bangsa sendiri.

Blunder Metro TV (Sumber: twitter @ainurohman)
Blunder Metro TV (Sumber: twitter @ainurohman)

Kejadian mundurnya Carolina Marin dari Spanyol yang berimbas perunggu diraih Jorji tanpa harus bertanding, tidak mengikis sedikitpun kepantasan seorang Gregoria Mariska Tunjung untuk meraih medali. Maka, nyinyiran medali "giveaway" tidak pantas dilontarkan siapapun.

Soal komentar negatif dan nyinyir terhadap prestasi Indonesia di Olimpiade Paris 2024, sudah terdengar  bahkan sebelum Jorji meraih perunggu. Baik lewat ketikan di medsos, maupun ucapan secara langsung.

"Payah! Kalah semua, nggak becus pada!"

Ucapan tersebut meluncur dengan entengnya dari mulut seorang kawan saya, sembari menatap layar ponsel yang menampilkan table klasemen sementara perolehan medali.

Saat itu Indonesia memang masih nol medali, ditambah kekalahan beruntun para atlet bulutangkis kita yang menjadi andalan.

"Bro, elu yang payah, olahraga aja nggak bisa, main badminton aja nggak pernah, pakai ngatain atlet nggak becus," balas saya.

Kawan itu hanya terkekeh dan berkilah bahwa penonton bebas berkomentar. Menurutnya sudah biasa orang cuma komentar dan menyalahkan saja.

Mungkin bagi atlet kita, seperti Jorji, sudah kenyang dicaci melalui medsos. Tapi cacian, bullyan, beda dengan kritik. Komentar bernada menyerang pribadi bahkan bisa menjatuhkan mental seorang atlet, karena fokusnya menjadi terganggu.

Bahkan kritik pun rasanya kurang pas kalau ditujukan ke atletnya langsung. Bagi saya, masyarakat sah-sah saja mengritik jika itu ditujukan pada sistem pembinaan yang kurang maksimal, turnamen atau kompetisi yang seadanya, hingga fasilitas yang tidak mendukung atlet meraih potensi maksimalnya.

Sepertinya masih banyak masyarakat yang belum terbuka pandangannya terhadap perjuangan seorang atlet. Untuk bisa menjadi atlet yang lolos Olimpiade, butuh kerja keras dan prestasi yang tidak main-main.

Jangankan kelas Olimpiade. atlet kelas kabupaten hingga nasional pun melalui perjalanan berliku yang tidak mudah untuk bisa meraih label sebagai seorang atlet. Ada banyak hal yang mesti dikorbankan, misalnya sekolah hingga momen masa remaja yang tidak seperti orang pada umumnya.

Saya pernah satu sekolah yang sama dengan seorang atlet kaliber nasional yang pernah berjaya d SEA Games hingga kejuaraan Asia. Meskipun statusnya sama-sama pelajar di sekolah itu, saya sangat jarang melihatnya masuk sekolah.

Hanya momen seperti ujian yang mengharuskan ia datang ke sekolah. Selebihnya ada dispensasi khusus yang diberikan padanya.

Kurang lebih, demikian pula yang dialami oleh banyak atlet lainnya. Tanpa disiplin, kemauan kuat, dan pengorbanan, bakal mustahil mereka mencapai level yang diinginkan.

Demikian juga para orangtua atlet. Tak mudah untuk mendukung dan mendampingi anak-anaknya untuk bisa menjadi atlet berprestasi.

Maka, ketika ada orangtua yang ogah mengarahkan anaknya menjadi atlet, lebih memilih memasukkan les mata pelajaran dibandingkan les renang, bulutangkis, sepakbola, dan sebagainya, tetapi justru sering berkomentar miring kepada prestasi atlet, rasa-rasanya ada empati yang kurang terasah di sini.

Mungkin orangtua jenis ini belum terbuka matanya, belum pernah melihat dan merasakan perjuangan dari nol untuk menjadi seorang atlet. Maka dengan entengnya, ia bakal berkomentar sejenis "nggak becus" dan lainnya.

Menjadi atlet, apapun levelnya, butuh perjuangan keras, yang tidak semua orang mampu melakukannya. Demikian pula atlet Olimpiade, mereka ke Paris tidak berbekal mendaftar doang lalu boleh ikut bertanding.

Enggak bisa gitu Yura... nggak bisa dong. Memangnya lomba tujuhbelasan? Memangnya bisa modalnya rebahan doang bisa tampil di Olimpiade?

Dari 29 atlet yang berangkat ke Paris, memang tidak semuanya berhasil membawa pulang medali. Tapi bukan berarti perjuangan mereka tidak berarti.

Sebutlah Rifdha Irfanaluthfi, pesenam satu-satunya Indonesia yang berlaga di Paris. Menontonnya berlaga sungguh bikin haru.

Rifdha tetap berusaha sekuat tenaga sambil menahan rasa sakitnya karena cedera ACL yang sudah diderita sebelum laga. Sebuah penampilan yang layak diapresiasi meskipun medali tak mungkin diraih dengan kondisinya itu.

Demikian pula seorang Eko Yuli Irawan, yang gagal meraih medali angkat besi. Dengan kondisi yang tidak sepenuhnya fit, ia tetap berusaha keras membawa nama Indonesia.

Entah orang macam apa jika sampai tega nyinyir ke Pak Eko, panggilan akrab sang legenda Eko Yuli Irawan.

Komentar miring hingga pedas rupanya lebih banyak mengarah ke para atlet bulutangkis kita. Mereka yang semula banyak diharapkan, pada akhirnya gagal setelah berjuang.

Namun, tidak fair juga mengarahkan jari telunjuk ke para atlet yang gagal meraih medali. Memangnya siapa sih yang mau kalah? Nggak ada bro. Mereka juga punya hasrat untuk menang dan juara, walau ujung-ujungnya tidak semua bisa menang.

Maka, sekedar senyum dan lambaian tangan usai kekalahan, bukan berarti mereka tidak berjuang mati-matian. Belajarlah menerima kekalahan karena dalam pertandingan pasti ada yang kalah dan ada yang menang.

Terima kasih kepada para atlet Indonesia yang telah berjuang di Olimpiade Paris 2024. Terima kasih Veddriq Leonardo, terima kasih Rizki Juniansyah, terima kasih Gregoria Mariska Tunjung, dan terima kasih untuk semua atlet lainnya. Kalian hebat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun