Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hidup Tanpa Smartphone? Ah, Mustahil

8 Agustus 2024   15:32 Diperbarui: 8 Agustus 2024   17:36 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pexels.com/Kerde Severin

Sudah sepekan lebih saya melakukan riset kecil-kecilan tentang smartphone apa yang harus saya beli untuk menggantikan yang lama. Smartphone yang saat ini saya gunakan sudah berumur 3 tahunan dan sudah menunjukkan gejala-gejala minta diganti.

Sebutlah layar yang kian buram, ngelag secara tiba-tiba, kapasitas memory yang sudah hampir full, kartu SIM yang mendadak tak terbaca, hingga colokan charger yang patah sebelah.

Banyak video review smartphone sudah saya tonton, begitu pula artikel perbandingan antar merk dan jenis di kisaran harga yang sesuai dengan anggaran saya.

Ya, ujung-ujungnya saya mesti memilih berdasarkan anggaran dan prioritas kebutuhan pemakaian. Misalnya, saya lebih memilih smartphone yang kualitas kameranya lebih bagus, memory besar, dan punya fitur NFC ketimbang smartphone yang hanya menonjolkan kemampuan untuk bermain game.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa saya memang butuh smartphone untuk menunjang kehidupan saya. Bukan untuk gengsi atau pamer gadget mahal, tapi karena tanpa smartphone bisa jadi pekerjaan saya terganggu, dan komunikasi dengan keluarga ikut terkendala.

Maka dari itu ketika smartphone saya rasa-rasanya sudah saatnya perlu ganti, maka saya pun harus ancang-ancang mencari penggantinya yang "worth it" sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Bagi saya, smartphone menjadi sarana yang membantu dalam mencari nafkah. Selagi saya masih kerja kantoran, dan juga nyambi dengan sampingan lainnya, smartphone adalah modal utama saya. Hampir mustahil saya tinggalkan.

Notifikasi pesan dari kantor yang kadang tak kenal waktu adalah sebuah keniscayaan. Terima saja. Hal itu menjadi konsekuensi yang harus saya terima sepanjang saya masih bekerja di bidang yang saya geluti saat ini.

Smartphone adalah salah satu perantara pembawa rezeki bagi saya. Bayangkan andai saya mematikan smartphone dalam satu hari saja, dan saat itu ada seseorang yang mengirimkan pesan mengajak kerja sama membuat konten atau artikel misalnya.

Alamat hangus kesempatan seperti itu jika saya terlambat merespon. Rugi dong...

Bagi saya, smartphone bukan pengantar stress, tapi lebih ke penghilang stress. Okelah kadang pusing juga jika mendapati pesan soal kerjaan kantor yang urgent dan butuh penyelesaian masalah.

Namun, hal itu bisa diimbangi dengan cara dan kebiasaan kita mengakses konten media sosial dan memanfaatkan smartphone untuk lebih berdaya guna dan menghasilkan sesuatu.

Saya tidak akan mengikuti akun klenik, horor, artis-artis nggak jelas, atau politisi yang mencari sensasi. Media sosial saya timeline-nya lebih ke humor, jokes bapak-bapak,kuliner, fotografi, sepakbola, dan akun berita yang kredibel.

Setidaknya dari asupan media sosial, saya berusaha menghindari konten pemicu stres. Lebih baik mencari inspirasi dan hiburan ketimbang menambah pening kepala.

Kata orang-orang sekarang, technostress bakal mengintai andai kita terlalu tergantung dengan smartphone. Padahal bisa jadi munculnya technostress karena kita salah memilih konten yang diakses di media sosial.

Sebagai contoh nih, saya punya akun di lima medsos dari mulai Facebook, Twitter, TikTok, YouTube, dan Instagram. Tapi yang rutin tiap hari saya buka hanya Instagram, selebihnya hanya sesekali intip saja.

Facebook bagi saya kian sepi dengan teman akrab, dan malah justru kian sering muncul postingan hoax. Twitter hanya penting untuk menengok isu terbaru, tapi saya malas ketika banyak orang berdebat, saling serang, dan bikin postingan sensasi padahal sebenarnya iklan.

YouTube hanya seperlunya saja, sesuai kebutuhan dan terus terang saya tidak menyukai video pendek atau short di YouTube. Sedangkan TikTok, ah sudahlah... rasa-rasanya saya merasa asing di medsos yang satu ini.

Memfilter jenis media sosial dan jenis konten yang kita minati adalah salah satu cara saya menghindari technostress. Kita hanya mengonsumsi apa yang kita butuhkan, bukan segala jenis konten kita telan mentah-mentah.

Di satu sisi saya sadar saya sudah tergantung dengan smartphone. Tapi hal ini tidak serta merta membuat saya beralih ke dump phone atau ponsel jadul yang hanya bisa buat nelpon dan bertukar pesan saja (dan bermain game ular).

Terus terang saya juga butuh smartphone untuk terus update informasi dan berita terbaru. Dulu sebelum ada smartphone, tiap hari saya selalu baca koran, tabloid dan majalah.

Lha kalau harus puasa smartphone, ke mana pula saya mesti berpaling? Karena keberadaan koran, tabloid, dan majalah sudah hampir susah ditemukan.

Smartphone memang candu, bersifat adiktif. Tapi selagi kita menempatkan candu itu pada porsinya, saya kira tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keberadaan smartphone.

Saat saya makan, sebisa mungkin saya tidak sambil membuka layar smartphone. Ketika saya berkendara, saya juga tidak membuka pesan atau scrolling Instagram, paling banter sih buka map atau peta untuk navigasi.

Begitu juga saat berolahraga, sebaiknya jauhkan smartphone untuk sementara waktu. Dengan demikian ada keseimbangan dalam pemakaian smartphone.

Untuk saat ini, saya adalah manusia yang memang butuh smartphone. Saya masih dalam masa produktif dan tidak memungkinkan mematikan barang sejenak smartphone saya.

Barangkali ketika masa pensiun kelak, ketika saya tidak akan merasa bersalah melewatkan pesan atau dering telepon dari kantor. Mungkin saya bisa lebih santai ketika melalui hari tanpa smartphone.

Namun, barangkali pula di masa itu nantinya, saya justru tidak akan begitu saja meninggalkan smartphone. Bisa jadi tiap hari saya menantikan smartphone saya berdering dan anak atau cucu saya muncul di layar sambil tertawa dan berbagi cerita melalui video call.

Ah, entahlah...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun