Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Anak "Bodoh" dan "Nakal" Tidak Berhak Sekolah?

28 Juni 2024   14:06 Diperbarui: 29 Juni 2024   10:32 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendamba pendidikan yang adil (foto: Unsplash.com/Mufid Majnun)

Sebut saja siswa tersebut dengan inisial D. Setiap kali memasuki tahun ajaran baru, selalu muncul petisi atau tuntutan dari sebagian orangtua siswa agar si D ini tidak menjadi teman sekelas anaknya ketika naik ke kelas baru.

Alasan utamanya adalah karena D memang lambat belajarnya, tidak bisa tenang di kelas, dan hampir selalu dihindari teman lainnya karena dianggap agak "beda".

Sepanjang D tercatat sebagai siswa di sekolah tersebut, harusnya segala bentuk diskriminasi, terlebih dari segelintir orangtua siswa menjadi tidak etis. Barangkali D bisa disebut sebagai "slow learner", tapi memberikan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah tersebut tanpa labeling apapun menjadi penting dan adil.

Kembali soal PPDB dengan sistem zonasi. Penderitaan kalangan "bodoh" dan "nakal" seolah menjadi lengkap jika ditambah label "miskin". Kalangan inilah yang sejak lama terkena stigma bahwa mereka harus ngumpul jadi satu di sekolah yang bukan favorit.

Maka muncullah stigma sekolah jago tawuran hingga sekolah "berandal" gara-gara para siswanya lebih sibuk berantem daripada belajar.

Inilah yang harus dibenahi melalui sistem zonasi. Meskipun masih banyak kekurangan, harus diakui sistem penerimaan melalui peringkat nilai juga rawan kecurangan. Isu jual beli nilai, atau jual beli bocoran soal dan jawaban, kerap bergaung di masa itu.

Pendidikan sejatinya bukan tentang nilai di atas kertas. Pendidikan karakter dan moral menjadi lebih penting di atas nilai berupa angka.

Justru mereka, pihak-pihak yang mencoba mengakali PPDB sistem zonasi sebenarnya adalah orang-orang yang bodoh dan nakal. Orangtua yang nitip KK hingga memalsukan sertifikat prestasi demi anaknya justru bodoh dan nakal (tanpa tanda kutip) karena secara langsung mendidik anaknya berlaku curang demi mencapai tujuan.

Anda boleh sepakat atau tidak, tapi itulah opini saya sebagai anggota masyarakat, mantan pelajar, dan sebagai orangtua siswa. Saya tetap dukung sistem zonasi, tapi tidak mendukung oknum dan praktik-praktik kecurangan.

Yuk bisa yuk perbaiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun