Niatnya berolahraga, eh pada akhirnya mampir jajan. Siapa yang gitu hayo?
Manusiawi sih, itulah mengapa para pedagang kuliner selalu meramaikan tempat-tempat masyarakat berolahraga. Khususnya di akhir pekan.
Area sekitar Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor termasuk menjadi favorit bagi masyarakat setempat untuk berolahraga. Jalan kaki, jogging, senam, hingga bersepeda mengelilingi stadion.
Namun, area ini juga layaknya pasar kaget yang ramai oleh pedagang kaki lima. Mereka berjualan dari mulai pakaian, pernak-pernik, sembako, hingga tentu saja segala macam makanan dan minuman.
Salah satu jajanan kuliner yang menjadi favorit di sini adalah sate ayam pikulan. Ada banyak penjual sate di tempat tersebut, dan rata-rata setiap jarak 30 meter dapat ditemui penjual sate ayam yang ngetem menunggu pembeli.
Cukup mudah mencari penjual sate ayam pikulan di Pakansari. Telusuri saja trotoar yang mengelilingi sisi luar Stadion. Biasanya penjualnya bapak-bapak atau abang-abang.
Asap yang mengepul dengan aroma sate yang khas, pertanda penjual sate sedang duduk nongkrong menghadap tungku arang. Menggugah selera orang yang berada di dekatnya.
Maka, jangan heran jika banyak orang sedang jogging atau usai senam pagi, langsung tergerak ikut nongkrong menyambangi penjual sate ini. Bahkan pesepeda pun rela menepi demi mengisi kembali kalori yang sempat terbakar. Hmmm...
Selain pikulan, ada pula yang menggunakan gerobak beroda, tapi sangat jarang ditemui. Juga ada pula tukang sate yang menggunakan sepeda kayuh.
Sate pikulan, maupun yang jualan tanpa warung, sepertinya memang tengah menjadi tren karena laku diminati orang-orang yang sedang jalan-jalan atau berwisata. Seperti halnya di titik nol, kawasan Malioboro Yogyakarta yang juga dipenuhi oleh penjual sate semacam ini.
Barangkali masih banyak orang yang menganggap remeh jenis sate ayam pikulan ini. Baik dilihat dari sisi tampilan dan cara jualannya, hingga ukuran daging satenya yang relatif lebih kecil dibandingkan sate yang jualan di warung atau resto.
"Emang enak ya sate gituan?" seorang kawan pernah menanyakan ke saya saat saya bercerita tentang sate ini.
Wajar jika sate ayam pikulan ini kerap dipandang sebelah mata, dan mungkin jadi kasta terendah di jajaran sate negeri ini. Selain murah, kadang sate jenis ini identik dengan jajanan anak SD karena kerap pula nongkrong jualan di depan sekolahan.
Namun, sebagai salah satu jenis UMKM, para penjual sate ayam itu patut diapresiasi. Selain menyemarakkan spot-spot keramaian dan destinasi wisata, geliat usaha mereka juga turut memberikan berkah para pedagang daging ayam, beras, hingga bumbu-bumbu yang dibutuhkan untuk memasak sate.
Minggu pagi ini (26/5/2024), saya menyempatkan untuk berkeliling area Stadion Pakansari Cibinong dan mencari sate ayam pikulan untuk sarapan. Dugaan saya benar, jam setengah tujuh pagi suasana di tempat itu sudah cukup ramai.
Mudah saja menemukan penjual sate ayam yang nongkrong di trotoar. Walau memang sebenarnya tak dibenarkan berdagang di trotoar, tapi nyatanya petugas patroli Satpol PP pun hanya berkeliling tanpa menegur mereka.
Saya pun memesan 1 porsi sate ayam lengkap dengan lontongnya. Berbeda dengan lontong tradisional yang menggunakan bungkus daun, lontong sate ayam pikulan ini cukup dibalut dengan plastik. Ya, namanya juga biar cepat dan praktis.
Tanpa menunggu lama, seporsi sate lontong yang disajikan dalam pincuk kertas makan itu pun tersaji. Seporsi isinya 10 tusuk sate, ditambah dengan irisan lontong serta guyuran sambal kacang dan kecap.
Sambal kacangnya begitu halus, cenderung encer dan manis. Mirip cita rasa sate ayam Madura yang tersohor.
"Asli Madura ya Pak?" tanya saya.
"Bukan Pak, saya mah asli Bogor. Jadi ini bukan sate Madura meskipun kata orang mirip, sate Bogor gitu lah kira-kira," ucap si bapak penjual.
Dia kemudian bercerita mulai jualan dari jam enam pagi sampai siang atau sehabisnya.
"Kalau Minggu pagi gini ramai orang olah raga, Sabtu juga lumayan," ujarnya.
Selanjutnya ia juga berjualan dari sore hingga larut malam. Berharap pada orang-orang yang nongkrong atau yang jalan-jalan menghabiskan malam.
Terbukti, jalan-jalan pun tak harus menguras kantong dalam-dalam. Tak harus belok ke restoran atau kafe yang mahal untuk membuat perut kenyang sekaligus mendapat sensasi yang berbeda.
Harga seporsi 15 ribu rupiah terasa worth it. Dengan rasa yang ternyata di atas ekspektasi, tidak membuat kapok untuk kembali lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H