Melihat jalur sepeda beserta infrastruktur pendukungnya seperti tempat parkir sepeda di Jakarta, terkadang muncul pertanyaan menggelitik. Apa tidak sayang fasilitas itu justru tidak dinikmati dengan semestinya?
Apa pasal?
Faktanya, masyarakat awam pun bisa melihat bahwa lebih banyak kendaraan lain, seperti sepeda motor, yang lebih sering mengakuisisi jalur sepeda di Jakarta.
Kalaupun ada sepeda lewat, sepertinya kok lebih banyak terlihat sepeda yang membawa termos air panas beserta rencengan sachet kopi. Sepeda itu populer disebut dengan "starling" atau starbucks keliling.
Berdasarkan pengamatan, pesepeda di Jakarta kini tak sebanyak saat pandemi 2-3 tahun lalu. Saat itu sepeda sedang ngetren, di samping memenuhi gaya hidup juga dianggap sebagai olah raga yang menyenangkan dan menyehatkan di tengah pandemi.
Banyak pengamat dan juga pemangku kebijakan yang berpendapat bahwa jalur sepeda akan memberikan manfaat, termasuk dalam hal sistem transportasi yang kian terkoneksi.
Namun, teori di atas kertas tentu berbeda dengan fakta di lapangan. Menggerakkan masyarakat untuk bersepeda, faktornya kompleks dan tak semudah yang dibayangkan.
Ini soal budaya, kebiasaan, kenyamanan, hingga menyentuh pula soal gengsi. Masih ada kok yang enggan bersepeda gara-gara sepedanya tak semahal milik orang lain, dan juga outfitnya tentu saja.
Jakarta sebagai kota metropolitan seolah terlambat membangun dan menata jalur sepeda. Jakarta sudah terlalu padat orang bercampur dengan segala kebisingannya.