Pengguna harian KRL Commuter Line di Jabodetabek tentu sudah kenyang dengan pemandangan eskalator mati di banyak stasiun. Terkadang hanya bisa pasrah, walau dalam hati sering pula merasa dongkol.
Maka, ketika beberapa hari lalu muncul berita viral aksi duka cita memperingati 100 hari matinya salah satu eskalator di Stasiun Bekasi, sesama penumpang KRL tentu bersorak senang. Eskalator mati di Stasiun Bekasi diberi karangan bunga serta miniatur kuburan sebagai simbol kematian.
Tak butuh waktu terlalu lama, setelah aksi tersebut viral, DJKA Kemenhub sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap fasilitas tersebut, turun tangan untuk memperbaikinya. Apesnya, dalam hitungan jam usai diperbaiki, eskalator kembali rusak dan kembali ke "alam baka".
Kisah eskalator Stasiun Bekasi itu menuai dua kubu komentator yang berseberangan. Ada yang menilai lebay, dan berpendapat apa susahnya menggunakan tangga manual saja. Tapi banyak yang berpendapat bahwa fasilitas eskalator di stasiun teramat vital untuk membantu mobilitas penumpang.
Kondisi eskalator "mati hidup mati hidup" juga kerap terjadi di Stasiun Manggarai. Sebuah kondisi yang ironis mengingat Stasiun Manggarai didesain sebagai stasiun transit terbesar dan tersibuk. Terlebih lagi, konsep pola transit di stasiun ini diubah menjadi vertikal yang berarti butuh fasilitas tangga, termasuk eskalator.
Beberapa kali saya mengalami kejadian eskalator mati saat sedang berjalan dan berada di tengah-tengah kerumunan. Rasanya seperti naik motor dan tiba-tiba mati mesin, tentu saja kami yang sedang berada di atasnya sempat oleng dan kaget.
Nggak bahaya toh? Ya pasti bahaya, apalagi eskalator saat itu dipenuhi manusia dan hampir tak ada jarak di antara kita.
Khususnya di sore dan malam hari saat jam sibuk, eskalator di Stasiun KRL manapun memang teramat vital dan berarti. Utamanya untuk eskalator naik seperti yang dibutuhkan penumpang ke jurusan Depok/Bogor yang transit di Stasiun Manggarai.
Bagaimana tidak? Saat sore dan malam hari, kebanyakan penumpang adalah mereka yang sudah teramat lelah setelah seharian bekerja dan beraktivitas. Terlebih lagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
Walaupun diarahkan petugas untuk menggunakan tangga manual, tapi eskalator adalah idaman agar sisa-sisa tenaga ini bisa sedikit dihemat hingga pulang sampai ke rumah.
"Naik tangga manual aja biar sehat," ujar seseorang di sana.
Saya sih ada kalanya sepakat dan setuju, tapi dengan catatan. Ketika dalam situasi jam sibuk, saat terjadi benturan kelompok massa penumpang yang akan naik kereta dan mereka yang turun kereta, lalu dilanjutkan menuju tangga, bakal membuat susah penumpang sekelas Lionel Messi sekalipun, yang jago dribel dan fisik kuat.
Banyak penumpang yang akan mengalami disorientasi arah begitu turun dari kereta. Mereka akan bingung mau melangkah ke mana di tengah kerumuman orang. Alhasil ketika terlihat eskalator terdekat, pastinya mereka bakal langsung menuju ke situ.
So, ketika salah satu alasan pihak pengelola bahwa penyebab sering matinya eskalator adalah karena beban berlebih, sebenarnya tidak bijak seolah melemparkan sebagian kesalahan pada penumpang. Toh, faktanya banyak eskalator di stasiun-stasiun lain yang jarang mati mendadak, apalagi sampai koit hingga 100 hari lebih.
Cobalah naik eskalator di Stasiun Manggarai saat jam sibuk sore hari. Selain padat orang saling berdesakan, saling sela dan dorong, Anda akan mendengar teriakan-teriakan petugas bak sedang acara Ospek.
"Hoy!! Kanan jalan! Yang sisi kanan jalan!"
Teriakan tersebut karena pengguna di sisi kanan eskalator hanya diam saja, tidak bergegas jalan agar kepadatan orang bisa cepat terurai.
Sering kali, teriakan-teriakan itu salah sasaran. Mungkin ada yang memang ingin bergegas berjalan, tapi karena orang di depannya terhalang pula orang di depannya, jadi kesannya tidak mau jalan. Otomatis, ia pun terkena sasaran teriakan.
Serba salah memang jadi penumpang KRL. Diteriakin petugas saat naik eskalator, dan kadang dipelototin penumpang lain karena dianggap mendorong, eh ujung-ujungnya dianggap salah satu biang kerok rusaknya eskalator karena beban berlebih.
Padahal sih langsung aja to the point. Cobalah tengok merk eskalator yang sering mati dan rusak, kenapa kok itu-itu lagi yang sering mati? Merk lain kok baik-baik saja?
Cobalah tengok, dahan dan ranting...
Eh... iya tengoklah pihak vendor yang bertanggung jawab terhadap maintenance dan penyediaan suku cadang eskalator tersebut. Kenapa kok bisa lama amat perbaikan tiap kali ada kerusakan? Apakah benar suku cadang harus didatangkan dari Planet Mars hingga bisa lama sampai berbulan-bulan?
Sebagai pengguna, tentu pikirannya simple saja, gantilah merk dan vendor dengan yang lebih baik dan terpercaya. Tapi, di sisi lain saya yakin tentu tidak semudah itu, apalagi menyangkut kontrak, pengadaan dan lain-lain.
Namun, untuk kali ini, saya memilih untuk menjadi pengguna awam saja. Pikiran saya simple, kalau pas capek ya butuh eskalator, yang hidup lho ya, bukan yang mati terus diinjak-injak bak tangga manual.
Gitu aja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H