Tak terasa 20 tahun sudah moda TransJakarta hadir di Jakarta. Tepatnya sejak 15 Januari 2004, TransJakarta hadir mengaspal di era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso atau Bang Yos.
Sempat menuai pro dan kontra, Busway, sebutan akrab TransJakarta kala itu, terus berkembang dan mampu membuktikan pada kalangan yang meragukan. Salah satu keraguan adalah perkara Busway dianggap mengambil space jalan kendaraan lain dan justru berpotensi menambah kemacetan.Â
Namun, terbukti jalur khusus Busway di berbagai ruas jalan di Jakarta mampu mendorong aksesibilitas dan mobilitas pengguna transportasi massal ini. Masyarakat di Jakarta seolah diberikan dua pilihan antara bermacet ria dengan kendaraan biasa atau lancar jaya menggunakan bus TransJakarta yang memiliki jalur khusus.
Dengan ongkos perjalanan yang murah, yaitu 3.500 rupiah sekali jalan dan bisa berpindah bus atau koridor tanpa bayar lagi (jika tidak keluar halte), TransJakarta dengan cepat mampu menjadi salah satu pilihan terbaik bagi warga.
Sejauh ini bahkan harga tiket TransJakarta hampir tidak pernah naik selama 19 tahun. Hanya di tahun pertama saja tiket harganya 2.000 rupiah. Dan saat ini bahkan ongkos 2.000 rupiah masih berlaku khusus perjalanan sebelum jam 07.00 pagi.
Bus TransJakarta bagi saya adalah penolong. Awal saya merantau di Jakarta, moda inilah yang membantu saya menghafalkan titik dan tempat-tempat di Jakarta.
Saat itu saya masih ngekos dan untuk berangkat kerja mengandalkan Metromini. Tapi di saat akhir pekan, Sabtu dan Minggu, daripada gabut di kos saya lebih memilih keliling Jakarta naik bus TransJakarta.
Berbekal peta jalur Busway yang pernah dibagikan pihak TransJakarta, saya pun berpindah-pindah koridor tanpa harus mengeluarkan biaya ekstra karena cuma bayar 3.500 rupiah.
Dari situlah saya jadi tahu daerah-daerah macam Kuningan, Kota lama, Matraman hingga Cililitan. Saya pun dengan mudahnya pergi ke Glodok atau janjian dengan teman di Ancol, cukup menggunakan bus TransJakarta.