Terjebak situasi crowded di Stasiun Sudirman, hanya menyisakan dua pilihan bagi penumpang. Memaksa masuk atau menunggu kereta selanjutnya. Walau kereta selanjutnya juga tidak menjamin kita bisa masuk.
Itulah yang terjadi sore itu, saya sampai tiga kali merelakan kereta melaju karena susah bagi saya untuk bisa naik kereta yang teramat padat.
Semula saya merasa kesal dengan situasi tersebut, karena menunda saya untuk bisa segera bertemu keluarga di rumah. Hingga, setelah itu terdengar percakapan di belakang saya.
"Pak, kalau abis ini masih susah masuk nggak usah dipaksa, saya nunggu selanjutnya saja."
Saya melirik ke belakang, rupanya ada seorang penyandang tuna netra dan seorang petugas keamanan yang akan membantunya naik ke dalam kereta.
Keduanya kemudian terus bercakap dengan ramah. Menimbulkan rasa empati bagi saya yang mendengarnya.
Sebagai penyandang tuna netra, penumpang itu tetap bisa menjaga semangat positif saat menggunakan moda KRL Commuter Line. Orang lain mungkin bakal memandangnya iba dan tak bisa membayangkan bagaimana ia akan masuk ke dalam KRL yang selalu dalam kondisi padat.
"Nah, ini kosong nih, naik ini aja Pak," ucap petugas sambil bersiap membantu penumpang itu naik.
Ia menggunakan terminologi "kosong" padahal secara kasat mata sudah terlihat banyak penumpang berdiri di dalam KRL. Tapi karena berdirinya berjarak, maka dibilang "kosong". Sebuah istilah biasa dalam dunia KRL Commuter Line.
Kali ini saya pun kembali bersemangat untuk mencoba naik ke dalam KRL yang "kosong". Penumpang tuna netra itu seolah turut membangkitkan semangat saya. Jika terus menunggu, entah sampai jam berapa sampai rumah.