Tapi memang perubahan pola transit sebaiknya dimulai pada waktu yang dinilai tidak menimbulkan dampak parah ketika ada sesuatu yang berjalan di luar rencana.
Setidaknya, dalam sepekan ini ada plus dan minus yang sudah bisa dinilai dari penerapan SO7 di Stasiun Manggarai. Nilai plusnya ada di kesigapan petugas yang tak henti memandu penumpang untuk tidak nyasar ke jalur yang salah.
Kemudian karena jarak peron menjadi agak lebih jauh, pergerakan penumpang saat transit pun terasa lebih lancar saat berada di lantai concourse karena tidak menumpuk alias menyebar. Enak bagi yang muda dan sehat untuk lebih "sat-set" tapi lebih ngos-ngosan bagi yang fisiknya kurang memadai.
Catatan yang perlu diperhatikan pihak pengelola adalah soal keterbatasan tangga, khususnya di sisi utara peron jalur 1 dan 2. Inilah peron terbaru yang sayangnya hanya mengandalkan satu sisi eskalator untuk turun atau naik saja.
Ini bakal menimbulkan penumpukan pada jam sibuk, khususnya sore hari, ketika penumpang dari arah Sudirman/Tanah Abang/Duri bakal berebutan turun dan menyasar satu sisi eskalator yang hanya mengarah naik.
Berbeda dengan pola transit yang sebelumnya di jalur 6-7, karena peron di situ dua eskalatornya hanya mengarah naik, walaupun sering mati juga sih.
Peron 1-2 juga tidak dilengkapi tangga manual tambahan yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk memecah kepadatan penumpang.
Satu hal lagi yang patut diwaspadai di peron jalur 1-2 ini adalah jalur atau rel yang masih digunakan bersamaan dengan kereta api jarak jauh (KAJJ). Hal yang semula tidak terjadi sebelum adanya SO7, karena jalur KAJJ dan KRL semula terpisah di Stasiun Manggarai.
Keruan saja jika ada KAJJ melintas langsung, maka penumpang yang berjubel di tepi peron mesti melipatgandakan kewaspadaan karena lengah sedikit bisa berbahaya. Kecepatan KAJJ saat melintas di peron Stasiun Manggarai, bisa bikin bulu kuduk merinding bagi orang yang berdiri di sisi peron.