Selepas dari Stasiun Citayam, jendela kereta yang membawa saya menuju perjalanan pulang tampak mulai basah oleh hujan. Bukan gerimis biasa rupanya, tapi hujan lebat yang sekonyong-konyong turun tanpa aba-aba, malam tadi.
"Ah, bakalan basah kuyup nih," pikir saya, membayangkan ketika turun di Stasiun Bojonggede, Kabupaten Bogor yang sudah di depan mata.
Announcer di dalam KRL sudah pula memberikan peringatan agar hati-hati saat turun dari kereta karena lantai peron licin dan basah.
Namun, selain itu, yang patut diwaspadai saat turun dari kereta saat hujan deras adalah guyuran air hujan. Pasalnya atap peron yang ada tidak memberi perlindungan sempurna bagi penumpang.
Aliran air hujan, terlebih jika deras disertai angin kencang, bakal membasahi tubuh ketika turun dari kereta maupun berjalan di peron.
Sebagai penyandang predikat salah satu stasiun terpadat, Stasiun Bojonggede memang sudah lama dibangun dengan model peron semi terbuka. Mirip Stasiun Citayam dan rata-rata stasiun KRL lainnya.
Jadi, sudah bertahun-tahun lamanya penumpang KRL harus terbiasa menjaga dirinya sendiri agar tidak kehujanan dan terpeleset di peron saat hujan tiba.
Bayangkan saja, dalam keadaan kering saja peron stasiun KRL berisiko membuat penumpang celaka, terutama di jam sibuk, bagaimana kalau hujan?
Entah bagaimana awalnya, kenapa dari dulu stasiun-stasiun KRL didesain model begini. Tapi tak usah juga melongok ke masa lalu, bahkan pembangunan dan renovasi di masa sekarang terkadang luput memperhitungkan kenyamanan orang-orang ketika hujan tiba.
Ambil contoh, masih di Stasiun Bojonggede. Mulai pekan ini telah dibuka skybridge yang menghubungkan antara Stasiun Bojonggede dan terminal angkot Bojonggede.
Adanya skybridge membuat pintu selatan stasiun ditutup dan alur keluar masuk penumpang dialihkan ke sisi utara yang terhubung dengan skybridge.
Namanya sih keren, skybridge, yang dibangun dengan desain kekinian. Fungsi utamanya mengurai kepadatan lalu lintas di depan stasiun yang selalu macet dan padat gara-gara ojek dan angkot ngetem.
Namun, adanya skybridge ternyata melupakan satu hal, yaitu masih tiadanya atap peron yang menghubungkan pintu skybridge dengan sisi peron untuk turun dan naik penumpang. Maka saat hujan deras semalam, ketiadaan atap peron digantikan dengan payung-payung pinjaman dari pihak stasiun. Hmm, so sweet..
---
Mampirlah ke Stasiun Manggarai yang digadang-gadang sebagai calon stasiun transit terbesar di Asia Tenggara. Bahkan di titik-titik tertentu masih terlihat bocor ketika hujan.
Bocor dan tempias ketika hujan deras adalah masalah klasik di stasiun-stasiun KRL.
Jika itu rumah tinggal pribadi, maka pemilik rumah biasanya akan memikirkan segala cara agar atap rumah yang bocor segera diperbaiki dan jika ada tempias mungkin bisa pasang kanopi.
Tapi bangunan stasiun adalah milik negara yang tentunya perlu prosedur tertentu untuk pemeliharaan atau bahkan untuk perbaikan fisik.
Semoga kelak jika ada pembangunan infrastruktur seperti stasiun kereta, dari awal perencanaan dan desain tidak hanya memikirkan secara fungsional dan estetis semata. Lebih dari itu, memperhitungkan kenyamanan pengguna ketika hujan deras turun.
Pada akhirnya pengguna layanan memang harus rela melipatgandakan kewaspadaan diri. Harus siap sejak sebelum berangkat naik kereta. Misal bawa payung lipat, memakai jaket anti air, sepatu anti selip dan properti perlindungan lainnya.
Juga mesti ekstra hati-hati ketika melangkah pada lantai stasiun yang basah, atau bahkan tergenang. Hindari saling dorong antar penumpang, karena selain diri kita, ada orang lain yang perlu kita hormati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H