MRT Jakarta berencana menghentikan penjualan kartu Jelajah Berganda atau Multi Trip (MTT) per 1 Januari 2024. Adapun kartu MTT yang sudah terlanjur dimiliki pelanggan MRT Jakarta, masih bisa digunakan sampai dengan 31 Oktober 2024.
Informasi tersebut dibagikan melalui akun resmi Instagram @mrtjkt Selasa, 5 Desember 2023 kemarin. Sebuah kabar yang sontak menuai reaksi negatif sebagian pengguna setia MRT Jakarta, termasuk saya.
Bagaimana tidak? Kartu MTT keluaran MRT Jakarta ini boleh dibilang andalan karena paling cepat terbaca sistem ketika proses tap kartu di gate elektronik. Kartu ini dalam sepersekian detik mampu terbaca dan jika kita menempelkannya sambil berjalan cepat pun tidak ada masalah.
Berbeda dengan kartu uang elektronik (KUE) keluaran bank yang juga bisa dipakai untuk pembayaran MRT Jakarta. Terasa lebih lambat terbaca, bahkan kadang harus mengulang proses tap yang bisa menimbulkan antrean saat hendak masuk atau keluar stasiun.
Alasan utama pihak MRT Jakarta adalah hendak memulai era pembayaran digital yang akan memberikan nilai tambah bagi pelanggan setia MRT Jakarta.
Jika kartu MTT benar-benar tak berlaku lagi, maka pembayaran untuk perjalanan MRT Jakarta bisa dilakukan menggunakan kartu JakLingko, KMT Commuter Line, e-money, Brizzi, Flazz, TapCash, JakCard dan memakai aplikasi MyMRTJ dengan pembayaran dompet digital melalui AstraPay, iSaku dan blu BCA.
Dalam kurun setengah tahun ini, berarti terulang lagi reaksi protes pengguna MRT Jakarta soal metode pembayaran. Akhir Juni lalu pihak MRT Jakarta juga mengakhiri kerja sama pembayaran melalui e-wallet yang sudah familiar di masyarakat, yaitu Gopay, OVO, Dana, dan LinkAja.
Sah-sah saja pihak MRT Jakarta menentukan metode pembayarannya sendiri. Tetapi rencana hilangnya kartu MTT jelas agak lucu dan membuat pengguna yang kadung jatuh cinta dengan kartu ini merasa tidak habis pikir.
Jika KUE selain MTT bisa mengupgrade kartunya menjadi secepat MTT dalam hal kecepatan baca yang sangat "sat-set", tentu pelanggan tidak akan melontarkan protes. Masalahnya, kecepatan baca KUE saat tap masih gitu-gitu saja, kalah jauh dari kartu MTT.
Terlebih lagi jika harus mengandalkan scan dari aplikasi melalui henpon, aduuuh... sejauh ini justru metode itu terbilang paling lemot dan tidak praktis.
Apa pasal?
Sejauh ini berdasarkan pengamatan tiap hari naik MRT Jakarta, pengguna MRT yang memakai aplikasi via henpon terlihat lebih rempong dan lelet saat berada di barisan antrian untuk masuk ke dalam stasiun. Dia harus buka aplikasi, eh begitu sudah dekat mesin scan, layar henponnya terkunci otomatis.
Ada pula yang ketika akan melakukan scan, terkendala dengan sinyal henpon yang lemot. Jika demikian si pengguna itu akan semakin panik, berulang kali scan gagal terus, dan akhirnya memanggil petugas untuk meminta bantuan.
Kondisi seperti itu hampir selalu ada tiap hari. Terutama di jam sibuk pagi dan sore hari, serta di stasiun-stasiun yang ramai penumpang.
Padahal penumpang lain yang buru-buru banyak, dan harus ngantre di belakangnya. Mereka inilah tipikal penumpang yang menganggap sedetik pun waktu sangat berharga. Maka, menemukan antrean gara-gara lambatnya proses scan atau tap di gate elektronik sungguh tidak menyenangkan.
Rencana penghentian kartu MTT ini patut dipertimbangkan lagi. Terlebih, rata-rata pengguna kartu ini adalah pelanggan setia MRT Jakarta. Saya pun memakainya sejak era MRT Jakarta pertama kali hadir hingga kini.
Bukan soal enggan diajak maju dan lebih digital. Tapi jika opsi yang tersedia justru lebih merepotkan dan masih gitu-gitu aja, serta sebenarnya secara kepraktisan masih di bawah MTT, apa iya harus memaksakan perubahan tanpa menimbang sisi baik dan buruk dari kaca mata pengguna?
Peniadaan e-wallet semacam Gopay, OVO, Dana, dan LinkaAja, sampai sekarang pun masih terasa sebagai blunder. Jangan sampai pula niatnya demi kemajuan, justru tergopoh-gopoh dan menjadi kemunduran.
Akan lebih baik jika kartu MTT tetap dipertahankan sebagai salah satu opsi pembayaran. Bila perlu kembalikan e-wallet yang sempat diakhiri untuk memperluas pilihan pengguna. Jadi jika ada kendala di satu metode pembayaran, misal kurang saldo, bisa menggunakan metode lainnya yang tersedia.
Satu lagi yang masih jadi pertanyaan adalah jika rencana ini benar-benar dilakukan, bagaimana dengan fisik kartu MTT yang sudah tidak lagi digunakan? Apakah jadi limbah begitu saja?
Informasi di akun resmi MRT Jakarta hanya soal refund saldo yang bisa dilakukan. Sedangkan refund fisik kartunya belum ada informasi.
Perlu diketahui, fisik kartu MTT ini lumayan juga harganya. Saat membeli baru di loket, harganya 25 ribu rupiah belum termasuk saldo. Artinya bagi pengguna yang baru-baru ini terlanjur membeli kartu tersebut, boleh gigit jari dan menyesal sedalam-dalamnya jika memang tidak bisa di-refund seperti halnya isi saldo kartu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H