Bagi penumpang, ada hal-hal yang wajib diperhatikan ketika berada di area peron antara lain menjaga fokus dan tidak lengah saat berjalan maupun menunggu kereta.
Selanjutnya, penumpang sebaiknya tidak menggunakan gadget yang bisa mengganggu. Misal tidak bermain handphone atau menelepon sampai-sampai tidak memperhatikan sekeliling.Â
Lalu hindari menggunakan headset, terlebih sambil mendengarkan musik yang kemudian bisa mengganggu pendengaran ketika ada informasi melalui pengeras suara maupun instruksi dari petugas di lapangan.
Bagi orangtua yang membawa anak kecil juga sebaiknya tetap waspada mengawasi dan menggandeng anaknya. Terlebih di tengah kerumunan banyak penumpang, tentu orangtua harus ekstra waspada.
Selain kewaspadaan di pihak penumpang, pihak yang berwenang dan juga pengelola stasiun semestinya wajib memikirkan bagaimana solusi terkait sempitnya peron-peron stasiun.
Memang ujung-ujungnya bakal terbentur pada anggaran lagi, sebuah alasan klasik. Tetapi ketika ada anggaran dan ada pembangunan, kenapa kok eksekusi desainnya bisa begitu? Apakah kontraktor yang membangun tidak memikirkan risiko ketika peron digunakan penumpang?
Sejak kejadian naas di Serpong memang beberapa hari belakangan ini petugas di peron terlihat lebih waspada mengawasi penumpang. Tapi pastinya itu bukan solusi paling aman dan nyaman bagi penumpang. Ya kan tidak setiap orang bisa merasa nyaman ketika ada petugas berteriak kepadanya.
Idealnya memang stasiun KRL bisa didesain seperti stasiun MRT Jakarta, yang ada pembatas peronnya dan celah peron sudah didesain pas sehingga meminimalisasi kaki orang terperosok.
Namun, angan-angan untuk mencontoh MRT bagi KRL Commuter Line sungguh terasa jauh untuk tercapai. Walau ada contoh yang tak jauh, tetapi beda jenis dan karakteristik kereta serta stasiun, sepertinya perlu revolusi dan perbaikan besar-besaran dengan waktu yang tak sebentar untuk membuat standar Commuter Line setidaknya setara dengan MRT Jakarta.