Matahari masih malu-malu menampakkan diri, ketika langkah-langkah kaki mulai memasuki stasiun di daerah penyangga Jakarta. Pria, wanita, tua, dan muda, ada yang bergegas, tak sedikit pula yang berjalan santai.
Orang-orang tersebut adalah para petarung di kerasnya kehidupan ibu kota. Mereka, rata-rata para pencari nafkah di Jakarta yang memanfaatkan moda Commuter Line tiap harinya sebagai transportasi andalan.
Tak mudah menjalani rutinitas sebagai penglaju yang naik Commuter Line tiap hari. Tetapi mereka menjalaninya dengan semangat dan tekad demi mencari sesuap nasi serta meraih secercah masa depan.
Satu di antara mereka adalah saya sebagai penumpang harian. Sudah bertahun-tahun saya menjalani peran sebagai penglaju yang memanfaatkan layanan KAI Commuter, dan rutinitas ini di mata orang lain terkadang dianggap luar biasa, walau saya merasa biasa-biasa saja karena sudah menjadi kebiasaan.
"Salut lho Mas, kamu tiap hari bisa naik kereta pagi dan malam," seorang rekan pernah berucap demikian pada saya.
Meski harus diakui setiap jam sibuk pagi dan sore hari Commuter Line terbilang padat, tetapi naik moda tersebut masih menjadi pilihan yang terbaik. Pengguna setia Commuter Line bisa melihatnya dari sisi kecepatan, ketepatan waktu, serta tarif yang sangat terjangkau.
Masih segar di ingatan saya ketika sembilan tahun lalu memutuskan mencari tempat tinggal di daerah Bojonggede, Kabupaten Bogor. Salah satu pertimbangan yang kemudian meyakinkan saya adalah lokasinya yang berada di tengah-tengah antara Stasiun Bojonggede dengan Stasiun Citayam.
Setiap hari saya menitipkan sepeda motor tua saya di Stasiun Bojonggede dan kemudian naik Commuter Line menuju tempat kerja. Rutinitas yang sempat menular ke rekan-rekan saya.
Mereka yang tengah mencari hunian, tak jarang menanyakan saya soal seluk beluk serta bagaimana pola perjalanan yang saya lakukan menggunakan Commuter Line.