Pengguna layanan video streaming di Indonesia saat ini tengah berada di pusaran pro dan kontra soal rencana sensor film pada layanan tersebut. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah mengkaji aturan untuk dapat menyensor konten film di platform OTTÂ (over-the-top) seperti Disney Plus Hotstar, HBO Go, Netflix, Prime Video, Vidio, dan sejenisnya.
Rencana aturan sensor tersebut berpijak dari keresahan sejumlah pihak yang menilai banyak tayangan negatif melalui platform OTT yang tayang tanpa sensor.
Soal itu, saya selaku penikmat tayangan video streaming melalui platform OTT, bisa merasakan keresahan yang sama. Setidaknya, saat ini di smartphone saya sedang aktif berlangganan tiga layanan, yaitu Vidio, Prime Video, serta Disney Plus Hotstar. Sementara dua layanan lainnya, yaitu Netflix dan HBO Go terinstal tapi sedang tidak aktif berlangganan, karena saya hanya membayar langganan ketika ada salah satu film yang memang ingin saya tonton.
Hal paling bikin terkaget-kaget ketika menonton film atau serial di layanan video streaming semacam itu adalah soal konten yang terkadang menampilkan adegan vulgar. Ya maaf-maaf saja ya kalau saya tulis di sini, tapi saya pernah menemukan serial produksi Hollywood yang menampilkan adegan topless.
Walau konteksnya adegan tersebut sedang berada di pantai pribadi hingga mandi di kamar mandi, tetap saja tidak pantas dan terlalu vulgar diperlihatkan ketika bicara norma yang berlaku di Indonesia.
Juga soal adegan kemesraan yang kelewat batas, baik antara lawan jenis maupun sesama jenis. Adegan tersebut bahkan muncul di serial dengan genre superhero yang biasanya mampu menarik minat penonton muda.
Ada yang menyarankan agar penonton melakukan self-censorship atau sensor pribadi dengan lebih bijak memilah dan memilih tayangan film yang cocok. Lha gimana mau sensor pribadi kalau ternyata film action yang semula dikira aman-aman saja ternyata di tengah-tengah muncul adegan yang terlalu vulgar.
Terlebih sekarang ini platform OTT tak hanya bisa diakses melalui smartphone saja, melainkan hadir juga di ruang-ruang keluarga dengan mengaksesnya melalui smart TV. Saat ini ada pergeseran tren di tengah masyarakat modern ketika TV kabel berbayar hingga saluran televisi publik sudah mulai berganti dengan tayangan dari internet.
Hiburan di ruang keluarga, khususnya kelas menengah ke atas, tak lagi nonton TV bareng diselingi iklan yang menguji kesabaran. Tapi sudah mulai berganti dengan istilah "nonton Netflix" bareng.
Namun, bagi orang tua yang memiliki anak kecil di rumah, seperti saya, nonton film Netflix atau Prime Video di layar televisi keluarga tampaknya bukan pilihan bijak saat ini. Kecuali yang ditonton memang tayangan khusus anak saja.
Berbeda dengan tayangan film yang disiarkan melalui televisi publik maupun berbayar, aturan sensor sudah diterapkan sehingga meminimalisir munculnya adegan-adegan yang tak sepantasnya. Bahkan sekedar adegan orang merokok saja ketika tayang di televisi nasional bakal kena blur.
Bagi yang kontra soal sensor film di layanan video streaming, alasan kebebasan berekspresi selalu dikedepankan. Juga soal kekhawatiran kian terbatasnya konten yang boleh tayang.
Namun, agaknya Kominfo dan lembaga sensor yang nantinya bakal bertugas, tidak bakal sekeji yang dibayangkan dalam hal sensor film dan konten di layanan streaming.
Pihak Kominfo sendiri sudah menyatakan kemungkinan sensor tidak akan seketat terhadap tayangan televisi nasional. Juga bukan langkah takedown konten, melainkan pencegahan melalui sensor.
Apapun dan bagaimana aturan sensor yang bakal diterapkan, semoga tidak menimbulkan hal-hal konyol dalam penerapannya. Kominfo sebaiknya banyak mendengar masukan, termasuk dari masyarakat.
Ya kali seperti adegan di kartun SpongeBob yang justru kena blur. Duh, mending adegannya dipotong saja daripada diblur deh. Kan gitu ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H