Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Curang Kok Bangga?

14 Juli 2023   08:39 Diperbarui: 14 Juli 2023   08:52 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Unsplash.com/Jess Yuwono

Wajahnya berseri-seri dan menyiratkan kebanggaan. Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan bagaimana anaknya bisa diterima di sekolah negeri favorit yang berjarak kira-kira 1,5 kilo meter dari tempat tinggalnya.

"Masuk lewat belakang lah, hehe," ujarnya sambil terkekeh.

Saya kemudian manggut-manggut, dan mencoba menimpalinya dengan bercanda.

"Belakang mana Pak? Bukannya di belakang sekolah itu nggak ada pintu? Adanya kali."

Itu percakapan dua tahun lalu soal penerimaan murid baru. Entah benar atau tidak ucapan rekan senior saya itu soal "jalur belakang", tapi faktanya anaknya memang benar diterima di sekolah itu.

Sudah menjadi rahasia umum, desas-desus soal "jalur belakang", "orang dalam", hingga praktik kecurangan berupa manipulasi data kependudukan mewarnai proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) tiap tahunnya.

Walau saya yakin masih banyak sekolah negeri yang mengedepankan integritas dan mempersempit lahirnya oknum, tetapi sangat disayangkan ketika inisiatif dan niat berbuat curang justru berasal dari para orangtua murid.

Dengan dalih tidak setuju sistem zonasi yang dianggap banyak merugikan, para oknum orangtua ini justru merasa baik-baik saja melakukan manipulasi dan mengakali aturan yang jika digambarkan dalam satu kata, kita cukup menyebutnya dengan kata: curang.

Jika hal semacam itu dilakukan dalam rangka memberikan sekolah yang terbaik bagi anak, tentu saja menjadi kontradiktif. Tujuan menyekolahkan anak selain memberikan ilmu pengetahuan juga memberikan pendidikan soal kejujuran, etika, serta adab yang baik. 

Kan lucu sekaligus miris, mengharapkan si anak jadi pribadi yang hebat, berkarakter, berintegritas dan jujur melalui sekolah yang dianggap favorit, eh justru orangtuanya rela menempuh jalur curang untuk itu. 

Curang tentu saja demi keuntungan diri sendiri atau kelompoknya. Tak peduli atau bahkan tak menyadari jika kelakuan seperti itu ternyata merugikan orang lain. Taruhlah ada anak yang harusnya diterima sekolah akhirnya luntang-lantung karena tak dapat sekolah terkena imbas orang lain yang curang. 

Saya tak akan menyoroti sistem PPDB saat ini yang banyak dinilai tidak siap dan lain sebagainya. Apapun sistemnya, faktanya selalu ada orang yang berusaha mencuranginya. 

Justru yang patut dipertanyakan, mengapa banyak orang dengan sadar dan sengaja memilih cara curang? Tak hanya itu, melakukan hal curang kemudian dengan bangganya menceritakan pada orang lain. 

Dalam situasi obrolan, entah itu di warung kopi, warung sayur, arisan, hingga kumpul keluarga besar, selalu saja muncul cerita-cerita tentang Si A yang masuk sekolah negeri, Si B yang diterima kerja, atau Si C yang sukses ngurus sesuatu seperti nembak SIM dan sebagainya. 

"The power of nitip" dan "the power of orang dalam" tak lupa kerap disebut-sebut juga. 

Ironis, curang justru seolah menjadi pencapaian yang membanggakan. Pelanggaran aturan dirasa menjadi kesuksesan ketika berhasil dilakukan. 

Ambil contoh sederhana, penonton bioskop yang berhasil memasukkan makanan dan minuman dari luar tanpa ketahuan petugas. Dengan bangganya setelah itu update di media sosial bahwa dirinya berhasil membawa makanan berupa nasi padang atau nasi goreng ke dalam bioskop. Agak lain memang. 

Ada lagi cerita beberapa hari lalu soal seseorang yang dengan bangganya mampu mengelabui petugas di stasiun KRL yang sempat memergokinya membawa ikan hias hidup di dalam kereta. Memang ada larangan membawa binatang peliharaan, apapun jenisnya. Dan setelah dilarang di kesempatan pertama, orang itu berhasil melewati petugas di kesempatan selanjutnya. 

Saat membanggakan pencapaiannya melalui media sosial, eh justru muncul komentar-komentar yang menceritakan pencapaian curangnya masing-masing, sambil mengolok-olok aturan yang dirasa memberatkan mereka. 

Hmm, curang kok bangga? 

Kalau curang adalah sebuah jalan keterpaksaan, kenapa sih nggak diam saja? Simpan untuk diri sendiri karena sejatinya itu adalah hal memalukan. 

Curang nggak perlu dibangga-banggakan karena itu bukan hal membanggakan. 

Eh, lha kok malah koar-koar, berbagi tips curang dan sebagainya. Seolah urat malu sudah putus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun