Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tangga Tambahan di Stasiun Manggarai, Sebuah Solusi Sia-sia?

13 Mei 2023   08:40 Diperbarui: 13 Mei 2023   14:02 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangga tambahan di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)

Hiruk pikuk penumpang di Stasiun Manggarai, memaksa Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA) membangun tangga tambahan. Tangga tambahan di sisi utara stasiun sudah berkali-kali diminta oleh berbagai pihak, dan akhirnya direalisasikan setelah melalui berbagai evaluasi.

Keberadaan tangga tambahan di Stasiun Manggarai sudah mulai digunakan sejak libur lebaran kemarin setelah melalui proses pembangunan kurang dari dua bulan.

Cukup singkat, karena tangga tambahan di sisi utara stasiun yang menghubungkan lantai concourse dengan peron bawah menggunakan konstruksi besi yang relatif lebih mudah untuk pasang dan bongkar.

Tangga tambahan untuk memecah kepadatan penumpang (foto by widikurniawan)
Tangga tambahan untuk memecah kepadatan penumpang (foto by widikurniawan)

Harus diakui, bagi penumpang yang naik dan turun dari gerbong di sisi ujung utara peron, keberadaan tangga tambahan ini bisa menjadi pilihan daripada berdesakan di eskalator.

Tujuan penambahan tangga ini adalah untuk memecah kepadatan penumpang ketika transit. Terutama di sisi utara yang beban kepadatan lebih berpusat pada tangga eskalator. Sementara keberadaan tangga manual lainnya berada di bagian tengah dan sisi selatan.

Namun, apakah keberadaan tangga tambahan di ujung peron 6-7 dan peron 8-9 sudah cukup memadai untuk memberikan kenyamanan bagi seluruh penumpang? Berdasarkan hasil pengamatan sekitar dua pekan ini, kok rasanya tidak terlalu berpengaruh signifikan.

Terlebih ketika belakangan ini justru tangga berjalan atau eskalator lagi-lagi kumat penyakitnya. Eskalator kembali harus "rehat sejenak" alias mati sementara sehingga penumpukan penumpang saat jam sibuk masih menjadi pemandangan khas di Stasiun Manggarai.

Seperti halnya Jumat, 12/5/2022 sore kemarin, dua eskalator di peron 8-9 yang seharusnya difungsikan untuk membawa penumpang naik ke lantai concourse, ternyata yang berfungsi hanya satu. Sedangkan satu lagi mati untuk entah keberapa kalinya dalam setahun ini.

Eskalator mati di Stasiun Manggarai, Jumat, 12 Mei 2023 (foto by widikurniawan)
Eskalator mati di Stasiun Manggarai, Jumat, 12 Mei 2023 (foto by widikurniawan)

Petugas sempat berteriak kepada penumpang agar beralih ke tangga manual, yang berarti diarahkan ke tangga tambahan yang berada di sisi utara. Tapi dalam kondisi padat dan semrawut seperti itu, tak mudah bagi penumpang untuk beralih tempat.

Bergerak saja sulit, kok disuruh mengarah ke tangga manual. Akhirnya antrean panjang dengan satu sisi eskalator pun terjadi.

Tak cukup sampai di situ, ketika sampai di lantai councourse dan penumpang akan bergerak ke lantai peron atas, lagi-lagi bertemu dengan satu eskalator yang mati. Berdasarkan hitungan saya, hari itu sudah hari kedua eskalator dalam kondisi mati.

Masalahnya, tak ada papan penghalang untuk tidak menggunakan eskalator mati tersebut sebagai tangga manual. Sehingga beberapa orang tetap nekat untuk memakainya agar bisa cepat berpindah ke lantai atas tanpa menunggu antrean.

Sebenarnya hal ini tidak disarankan mengingat eskalator mati memang sebaiknya tidak dibebani oleh orang karena bisa mengganggu komponen mekanik mesin eskalator.

Eskalator menuju peron atas juga mati, tapi tetap ada yang memaksakan naik (foto by widikurniawan)
Eskalator menuju peron atas juga mati, tapi tetap ada yang memaksakan naik (foto by widikurniawan)

Kembali lagi pada keberadaan tangga tambahan di sisi utara stasiun. Seolah tak berarti jika eskalator yang tersedia masih kerap mati dan tak berfungsi. Penumpukan penumpang saat berpindah lantai untuk mengejar kereta selanjutnya tetap menjadi permasalahan klasik.

Keberadaan tangga tambahan ini justru menjadi semacam penegas bahwa Stasiun Manggarai memang  didesain tambal sulam dan kurang memperhitungkan alur manusia yang harus bergerak cepat di dalamnya. Tangga tambahan pun seolah menjadi solusi sia-sia jika eskalator yang sudah ada tetap tidak sesuai ekspektasi penumpang.

Pihak DJKA mestinya memikirkan bagaimana eskalator yang berulang kali mati bisa diganti saja dengan jenis eskalator yang lebih bandel dan mumpuni untuk digunakan ribuan manusia tiap harinya.

Penumpukan penumpang Bogor/Depok yang diperparah dengan eskalator mati (foto by widikurniawan)
Penumpukan penumpang Bogor/Depok yang diperparah dengan eskalator mati (foto by widikurniawan)

Kalau memang tidak mau terus-menerus berpolemik dengan penumpukan orang saat transit, sebaiknya kembalikan lagi jalur Bogor-Tanah Abang tanpa transit.

Memang butuh effort dan penambahan waktu pembangunan Stasiun Manggarai dengan mengembalikan persilangan jalur rel dari Bogor ke arah Tanah Abang yang sudah permanen hilang. Tapi memaksakan penumpang dari Bogor/Depok untuk transit di Manggarai adalah sebuah kesalahan fatal yang terlanjur diterapkan.

Kadang saya mikir, ada masalah apa orang-orang pemangku kebijakan kereta dengan masyarakat Bogor/Depok? Kok bisa-bisanya menghilangkan jalur paling ramai dengan memaksakan transit di stasiun yang desainnya sangat "membagongkan".

Penumpang Bogor/Depok seolah tiap hari "dikerjain" dengan terpaksa menjadi pihak yang harus naik tangga hingga tiga lantai saat jam sibuk pulang kerja. Sudah lelah seharian kerja, masih saja dipaksa naik tangga yang tingginya termasuk level "ya ampun".

Beda dengan arus penumpang yang turun tangga karena relatif lebih tidak melelahkan dibandingkan naik tangga. Posisi itulah yang harus diterima dengan terpaksa oleh penumpang Bogor/Depok.

Saya ingat betul pihak Kemenhub pernah menyatakan dalam sebuah diskusi publik bahwa hilangnya jalur Bogor/Depok langsung ke Tanah Abang adalah berdasar studi jadul di tahun 2012 yang menyimpulkan jalur Bekasi bakal berkembang lebih besar.

Padahal faktanya, karena keterbatasan alternatif moda dari Bogor/Depok ke Jakarta justru memaksa orang-orang Bogor/Depok lebih tergantung pada KRL Commuter Line dibandingkan orang-orang dari Bekasi yang naik apapun bisa lebih mudah sampai ke Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun