Petugas sempat berteriak kepada penumpang agar beralih ke tangga manual, yang berarti diarahkan ke tangga tambahan yang berada di sisi utara. Tapi dalam kondisi padat dan semrawut seperti itu, tak mudah bagi penumpang untuk beralih tempat.
Bergerak saja sulit, kok disuruh mengarah ke tangga manual. Akhirnya antrean panjang dengan satu sisi eskalator pun terjadi.
Tak cukup sampai di situ, ketika sampai di lantai councourse dan penumpang akan bergerak ke lantai peron atas, lagi-lagi bertemu dengan satu eskalator yang mati. Berdasarkan hitungan saya, hari itu sudah hari kedua eskalator dalam kondisi mati.
Masalahnya, tak ada papan penghalang untuk tidak menggunakan eskalator mati tersebut sebagai tangga manual. Sehingga beberapa orang tetap nekat untuk memakainya agar bisa cepat berpindah ke lantai atas tanpa menunggu antrean.
Sebenarnya hal ini tidak disarankan mengingat eskalator mati memang sebaiknya tidak dibebani oleh orang karena bisa mengganggu komponen mekanik mesin eskalator.
Kembali lagi pada keberadaan tangga tambahan di sisi utara stasiun. Seolah tak berarti jika eskalator yang tersedia masih kerap mati dan tak berfungsi. Penumpukan penumpang saat berpindah lantai untuk mengejar kereta selanjutnya tetap menjadi permasalahan klasik.
Keberadaan tangga tambahan ini justru menjadi semacam penegas bahwa Stasiun Manggarai memang  didesain tambal sulam dan kurang memperhitungkan alur manusia yang harus bergerak cepat di dalamnya. Tangga tambahan pun seolah menjadi solusi sia-sia jika eskalator yang sudah ada tetap tidak sesuai ekspektasi penumpang.
Pihak DJKA mestinya memikirkan bagaimana eskalator yang berulang kali mati bisa diganti saja dengan jenis eskalator yang lebih bandel dan mumpuni untuk digunakan ribuan manusia tiap harinya.
Kalau memang tidak mau terus-menerus berpolemik dengan penumpukan orang saat transit, sebaiknya kembalikan lagi jalur Bogor-Tanah Abang tanpa transit.