Setidaknya aku masih merasa beruntung karena emak dan bapak tak pernah mengeluh ketika halaman rumahnya tak pernah terparkir kendaraan mewah berplat nomor luar kota saat lebaran. Beda dengan rumah-rumah tetangga yang terlihat bak showroom mobil karena anak-anaknya sudah jadi "orang".
Jujur saja, aku takut ketika makna pulang ke kampung halaman sebenarnya adalah tentang uang. Ada uang maka bisa mudik, tak ada uang artinya urung mudik.
Banyak orang di kota besar yang mengatakan padaku bahwa mereka gagal mudik tahun ini karena tak memiliki uang tabungan lebih. Walau tak sedikit pula yang memaksakan harus pulang mudik dengan mengiba pada pinjol yang teramat berisiko.
Ah, sebagai kampung halaman pastinya kamu juga teramat paham dan tak asing dengan cerita-cerita semacam itu.
Nyatanya...
Aku tak akan bohong. Soal uang memang menjadi salah satu alasanku dan orang-orang sepertiku yang merantau ke kota besar. Tapi, tak mudah pula untuk mendapatkannya meskipun berliter-liter peluh telah dikucurkan.
Hai, Kampung Halamanku yang bijak dan sabar.
Kini aku telah kembali ke rantau. Kembali bergerak cepat mengikuti irama kehidupan.
Aku tahu ada suara-suara yang menanyakan, kenapa harus merantau jauh? Jika soal uang, bukankah di kampung halaman ada pula lapangan pekerjaan?
Jika hidup di rantau serba keras, kenapa harus memaksakan diri merantau dan pulang kampung tiap lebaran dibalut keterpaksaan pula?
Memang benar, tapi logika kehidupan tak selamanya berjalan seperti itu. Ada kalanya hal yang kita rencanakan tidaklah mulus berjalan sesuai harapan.