Dear Kampung Halaman, tempat di mana aku merasa benar-benar berada di rumah.
Melalui surat ini terimalah permohonan maafku karena terlalu singkat waktu yang aku habiskan saat mudik lebaran tahun ini. Datang H-1 lebaran, dan kembali ke rantau H+1 lebaran.
Seingatku, memang inilah mudik tersingkat yang pernah aku lakukan. Meski sebenarnya, masih lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu tatkala aku tak bisa mudik sama sekali.
Waktu sesingkat itu sudah pasti tak akan pernah cukup untuk mengisi relung-relung rindu yang tertambat. Tapi setidaknya aku telah menuntaskan kewajiban utama saat mudik, yaitu sungkem kepada emak dan bapak.
Hai, Kampung Halaman.
Jika aku bisa melihat tubuh dan kepalamu, mungkin aku bakal melihatmu geleng-geleng kepala melihat tampilanku saat pulang mudik. Memanggul tas ransel dan menenteng kardus berisi sekedar buah tangan.
Kembali ke rantau pun demikian, dengan kardus yang lebih besar karena emak pasti membawakan aneka jenis keripik dan jajanan kampung untuk aku bawa ke kota. Kardus yang kata bapak harus diikat dengan kuat menggunakan tali rafia agar isinya tak berhamburan di jalan.
Sesederhana itulah tampilanku. Jauh dari kata "perlente" dan gaya khas kota besar. Tak ada pula terucap kata "lu-gue" ketika berbincang hangat dengan sanak saudara.
Namun, entah kapan aku bisa merasakan decak kagum dari dirimu ketika aku pulang kampung. Ada yang bilang, kalau pulang ke kampung halaman seharusnya membawa mobil mewah beserta cerita sukses dan jabatan tinggi yang bisa dibanggakan.
Sedangkan aku?