Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Sesulit Itukah Memaafkan Orang yang Tak Kita Kenal di Ruang Publik?

29 April 2023   07:25 Diperbarui: 29 April 2023   17:31 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Genangan air yang terciprat bisa berujung pertengkaran di jalanan (foto by widikurniawan)

Lebaran usai, tapi kita masih dalam suasana saling memaafkan. Keluarga, tetangga, teman-teman, kolega, hingga rekan-rekan di dunia maya. Terasa sah jika sudah saling berjabat tangan, dan terasa lunas jika sudah bertukar pesan singkat.

Benarkah sesederhana itu untuk saling memaafkan? Benarkah kita sudah memafkan orang lain tanpa kecuali?

Barangkali, ketika kita memaafkan orang lain dengan ikhlas, tanpa embel-embel, lebih mudah jika ditujukan pada keluarga sendiri, teman dekat dan orang-orang yang kita kenal.

Sebuah kesalahan fatal pun, jika yang melakukan seseorang yang kita kenal, kita akan berusaha memahami dan menelisik penyebab orang tersebut melakukan hal tersebut. Setelah melalui renungan yang mendalam, bisa jadi kita akan sanggup untuk ikhlas memaafkan.

Terlebih di momen hari raya Idulfitri, terkadang tak perlu berpikir panjang untuk bisa memaafkan seseorang yang kita kenal.

Namun, berbeda ketika berbicara tentang hubungan kita dengan manusia-manusia yang kita temui di ruang publik dan yang tak kita kenal secara pribadi. Terkadang kita lupa dan enggan untuk berusaha memaafkan mereka ketika terjadi salah paham.

Pernahkah Anda dibuat jengkel oleh orang-orang yang menyerobot antrean? Mungkin pernah terjadi saat mengantre di kasir minimarket, saat mengantre di ATM, atau saat mengantre makanan di kondangan.

Sudahkah detik ini Anda memaafkan mereka? Jika sudah alhamdulillah, tetapi jika Anda masih saja mengungkitnya dengan menceritakan momen tersebut kepada orang lain secara berulang-ulang setiap kali teringat, sepertinya Anda belum bisa memaafkan dengan baik.

Atau pernahkah Anda merasa kesal dan protes ketika mendapat pelayanan buruk saat berada di restoran, di bank, di kantor kelurahan, di toko, atau di manapun itu?

Lalu hingga sekarang pun Anda masih mengungkit-ungkit kesalahan mereka, bahkan sampai menyebut nama mereka yang Anda baca dari nametag mereka. Bisa jadi kesalahan mereka akibat sistem pelayanan yang buruk, bukan pribadi mereka yang ingin merugikan kita.

Bisa jadi pula mereka tengah mengalami satu hari yang buruk dan apesnya ketemu kita yang menuntut pelayanan prima. Jika sampai menyulut emosi, terkadang teramat fatal imbasnya. Selain penyakit hati, bisa pula merembet ke pertikaian lanjutan.

Belakangan ini juga kerap tersiar kabar viral terjadinya penganiayaan di jalanan dan ruang publik lainnya. Dengan gampangnya seseorang tersulut emosi dan egonya sehingga perlu menghajar seseorang yang dianggap bersalah kepadanya.

Salah satu contohnya adalah kejadian seorang pengendara motor dihajar sampai kejang-kejang hanya gara-gara senggolan dengan pelaku. Padahal sebelum dihajar, korban sudah meminta maaf berulang kali. Tapi rupanya sulit bagi pelaku untuk memaafkan karena sudah diselimuti emosi yang menutupi akal dan perasaan.

Genangan air yang terciprat bisa berujung pertengkaran di jalanan (foto by widikurniawan)
Genangan air yang terciprat bisa berujung pertengkaran di jalanan (foto by widikurniawan)

Kejadian emosi di jalanan memang sering sekali terjadi. Walau tak sampai pada kejadian seperti di atas, tapi mengumpat, mengancam hingga menantang berkelahi seolah menjadi hal yang biasa.

Padahal pemicunya kadang cuma sepele, seperti kaget dan hampir terserempet. Ada pula pemicu semodel kesal karena merasa ditatap matanya.

Dunia ini memang isinya tentang ego dan kepentingan. Seolah sedikit saja tersenggol, muncullah prinsip "tiada maaf bagimu". Sesulit itukah memaafkan orang lain?

Masih banyak orang yang berlaku keras pada sebuah perbedaan. Gemar mencerca dan mudah tersinggung tanpa alasan yang kuat. Kerap menyalahkan dan bahkan membuli ketika muncul secuil kesalahan tanpa disengaja.

Tengoklah juga dunia maya dengan media sosialnya. Kolom komentar kian marak dengan komentar-komentar saling menyalahkan dan merasa paling benar.

Sebuah pemilihan kata yang keliru, tak jarang juga menyulut amarah. Padahal berusaha memahami dengan berpikir jernih serta kemudian mencoba memaafkan adalah yang mesti dikedepankan.

Jika kecenderungan ini terus terjadi, sebaiknya lupakan soal klaim "kemenangan" di hari raya Idulfitri. Sebenarnya kita tidak sedang "menang" karena masih menyisakan residu-residu yang jika terus menumpuk bakal berujung pada penyakit hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun