Kelemahan sistem yang berbeda-beda selain bisa dimanfaatkan calo juga berpotensi membuat moda seperti bus dan kereta tak terisi penuh saat keberangkatan. Apa pasal?
Ada kemungkinan seorang pendaftar memang sengaja mendaftar di banyak tempat karena takut kehabisan kuota. Meskipun ia tidak berniat untuk menjualnya lagi, tetapi karena pendaftaran rata-rata menggunakan sistem pengumuman dan selanjutnya daftar ulang, maka sebelum ada kepastian tiket didapat, seseorang bisa mendaftar pada penyelenggara mudik gratis lainnya.
Dampaknya baru kelihatan pada saat keberangkatan. Jika terdapat bus-bus atau gerbong kereta yang tidak penuh terisi penumpang, bisa jadi kursi kosong tersebut adalah akibat orang yang melakukan pendaftaran ganda di banyak tempat.
Fenomena ini pun sudah ada yang melaporkan melalui cuitan di media sosial. Bus dan kereta terlihat lengang karena nama yang terdaftar tidak muncul.
Akibatnya bisa fatal karena tujuan mudik gratis yang salah satunya untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi kemacetan, bisa gagal karena faktanya masih banyak kursi kosong yang tidak dimanfaatkan.
Evaluasi sudah pasti harus dilakukan penyelenggara mudik gratis agar kejadian seperti ini bisa diantisipasi lebih baik. Walau penyatuan sistem pendaftaran menjadi tunggal memang sangat sulit dilakukan karena perbedaan instansi penyelenggara dan sumber anggaran.
Kecuali hanya perusahaan yang bernaung di bawah BUMN yang dimungkinkan penyatuan sistem pendaftaran. Saat ini pun beberapa perusahaan BUMN sudah menyatukan sistem pendaftaran mudik gratis meskipun ada beberapa lagi yang tetap memaksimalkan menggunakan aplikasi mobile bawaannya.
Menjadi wajar jika kejadian viralnya penjualan tiket mudik gratis membuat geram masyarakat. Saya bahkan teringat obrolan dengan ojek online yang membawa saya beberapa hari lalu.
Karena melihat plat nomornya berkode sebuah daerah di Jawa Tengah, saya sempat basa-basi menanyainya soal kapan rencana mudik.