Selain sebagai bulan penuh ampunan, ada yang menganggap Ramadan sebagai bulan penuh pengeluaran ampun-ampunan.
Betapa tidak? Perputaran uang di ranah rumah tangga seolah bergerak begitu cepatnya. Pagi gajian, siang bayar utang, sore sudah tak keruan ke mana larinya.
Pemicu terbesar dari pengeluaran yang membengkak selama Ramadan sebenarnya terletak pada nafsu dan pengendalian diri. Padahal sebaik-baiknya ibadah puasa di bulan Ramadan, pengendalian diri adalah intinya.
Sesuatu yang terlihat sebagai persoalan kecil, seperti membeli takjil misalnya, jika tanpa pengendalian diri bisa-bisa menggerogoti finansial rumah tangga tanpa disadari.
Setiap sore di kala ngabuburit selalu ngiler dengan aneka rupa takjil nan menggoda. Beli kolak, bubur, es buah bersamaan dengan gorengan tujuh macam, pizza, burger, lontong isi, kue-kue, martabak dan sebagainya. Belum lagi mesti makan besar dengan menu spesial yang beda dengan hari-hari biasa.
Ya, kalau sanggup menghabiskan semuanya dan selama finansial masih terjaga sih enggak masalah.
Bakal menjadi masalah jika tiap hari di rumah menyisakan banyak makanan yang tak terjamah karena terlanjur kenyang. Fenomena ini termasuk pemborosan gara-gara nafsu sesaat.
Negara mungkin senang dengan perputaran uang di bulan Ramadan yang menggeliatkan perekonomian. Tapi mbok ya kita ini tetap bisa mengukur kemampuan diri sendiri. Kalaupun nggak mampu karena kondisi finansial memang tak terlalu wah, ya janganlah ikut-ikutan merasa tak ada masalah yang mengintai.
Hanya karena seolah sudah menjadi tradisi di bulan Ramadan dan menjelang lebaran, maka kita ikut-ikutan gaya yang tak bisa dibilang murah.
Ngecat dinding rumah tiap Ramadan, tak ada masalah jika dananya memang tersedia. Demikian pula jika sampai ganti korden, beli sofa baru, toples baru, karpet baru, semuanya demi terlihat wah dan mentereng kala lebaran.
Padahal sebenarnya tidak ada masalah dengan kondisi dinding rumah, korden, sofa, toples dan karpet lama di rumah kita. Semuanya masih terlihat bagus dan layak.
Sekali lagi, jika uangnya banyak ya monggo saja. Para pedagang akan senang menerima Anda. Tapi jika kondisi finansial pas-pasan sebaiknya tak usah merasa minder untuk tidak ikut-ikutan.
Mengedepankan akal sehat
Akal sehat juga dibutuhkan agar tidak terjebak pemborosan karena terkecoh dengan nafsu.
Contohnya begini. Misalnya saat lebaran kita bakal mudik lama ke kampung halaman, ngapain juga beli toples baru dan belanja kue-kue lebaran yang mahal?
Kue-kue tersebut dipajang di ruang tamu di rumah yang bakal kosong melompong saat lebaran. Usai lebaran pun tak ada yang datang ke rumah karena penghuni rumah terbilang muda dan yang punya inisiatif berkeliling untuk silaturahmi alih-alih sebagai pihak yang didatangi tamu.
Ujung-ujungnya dari mulai nastar, putri salju, dan teman-temannya bakal tak terjamah selama berbulan-bulan ke depan. Nah, yang begini ini termasuk pemborosan atau tidak Saudara-saudara?
Soal baju lebaran juga menjadi masalah tahunan yang klasik. Seolah jika tak membeli yang baru, merasa insecure dan malu kalau-kalau ada yang ngeh soal itu.
Apalagi di era media sosial yang tumbuh subur dengan ragam komentar netizen. Bisa jadi ada yang takut dikomentari ketika kita upload foto keseruan lebaran, tapi bajunya terlihat sama dari tahun ke tahun.
Puncak dari segala problematik keuangan selama Ramadan adalah saat mudik lebaran. Jika niatnya tulus ingin menengok kampung halaman dan sungkem dengan orang tua, pasti tak masalah.
Menjadi masalah jika akal sehat terpinggirkan gara-gara soal gaya yang dikedepankan. Ingin dianggap sukses ketika berada di kampung halaman. Bahaya ini.
Indikasinya jelas, ketika tren penjualan mobil meningkat jelang Ramadan. Sangat lucu jika setelah lebaran justru dijual lagi demi menutupi pengeluaran yang membengkak.
Demikian pula persewaan mobil yang ramai peminat. Mobil sewa pun kelak akan disetting sedemikian rupa seolah-olah punya pribadi. Ehem.
Setali tiga uang dengan fenomena ramainya toko emas dan toko handphone saat Ramadan menjelang lebaran. Apakah mereka sedang menggadaikan miliknya atau justru membeli baru untuk mendukung penampilan saat lebaran?
Apa yang mesti dilakukan?
Sebenarnya semua hal di atas bebas saja dilakukan setiap orang. Itu kan hak pribadi.
Namun, jika boleh menyarankan sebaiknya ada perencanaan yang matang, terutama jika kondisi finansial kita terbilang pas-pasan untuk diajak berlari kencang menuruti nafsu.
Sangat tidak disarankan mengandalkan pinjaman online (pinjol) demi menuruti nafsu belanja saat Ramadan. Sekali terjerat, bisa jadi susah untuk keluar dari belenggu pinjol.
Susunlah anggaran belanja pribadi atau rumah tangga yang cermat dan tepat. Belanjalah sesuai kebutuhan bukan sesuai keinginan dan gaya.
Untuk menekan nafsu belanja yang mengintai setiap saat, hindarilah kegiatan atau tempat-tempat yang bisa menggoyahkan isi dompet kita. Misalnya, kalau niatnya cuma beli beras atau telur di warung saat sore hari, sebaiknya tidak lewat orang jualan takjil yang menggoda mata.
Juga hindarilah datang ke mal jika kebutuhan kita cukup diakomodir di toko terdekat atau via belanja online. Lebih-lebih niat datang ke mal saat midnight sale, hendaknya risiko sudah dipertimbangkan ketika datang ke tempat tersebut.
Hal terakhir yang perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan finansial saat Ramadan adalah dengan mengintip peluang income tambahan. Momen Ramadan mestinya bisa menjadi momen peningkatan produktivitas.
Banyak hal bisa dilakukan, misalnya alih-alih sebagai konsumen kenapa bukan kita saja yang berperan sebagai pengusaha takjil atau kue-kue lebaran?
Daripada kalap membeli baju baru, mengapa bukan kita yang punya kreativitas sebagai pengusaha baju lebaran? Beragam peluang lainnya pun tersedia andai kita cermat dan memiliki niat demi finansial sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI