Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Lho, Kok Ayah Nggak Pergi Tarawih?"

1 April 2023   06:16 Diperbarui: 1 April 2023   06:22 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unsplash.com/herhy Ad

Siapa bilang puasa di bulan Ramadan selalu sama setiap tahunnya? Setidaknya buat saya, tantangannya selalu berbeda.

Dulu waktu kecil, saya kerap dihadapkan tantangan melawan lambatnya jarum jam berdetik menuju waktu Maghrib. Juga ada masa ketika saya menemukan hobi baru berupa tidur siang sampai sore menjelang berbuka. Seolah puasa hanyalah momen menunggu berbuka semata.

Tiba masa remaja, beda pula situasinya. Kemudian masa ngekos sendiri lepas dari pengawasan orangtua, juga beda. Itulah masa ketika untuk makan sahur harus keluar rumah dan berjalan kaki menuju warung makan yang buka.

Tahun pun berlalu, tiba-tiba saja sudah ada istri dan dua orang anak menemani berpuasa Ramadan. Waktu seolah berlari demikian cepat.

Sebagai kepala keluarga tentu saja saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan ketika masih lajang. Puasa Ramadan tak lagi ibadah untuk diri sendiri, melainkan bagaimana menjadi teladan bagi istri dan tentu saja contoh bagi anak-anak yang baru mulai belajar makna puasa.

Meskipun saya sendiri harus mengakui masih banyak kekurangan dan perlu banyak belajar, tetapi saat ini ada dua anak kecil yang harus dibimbing dalam berpuasa.

"Lho, kok Ayah nggak pergi tarawih?" pertanyaan dari si kecil ini pernah terlontar suatu ketika, seingat saya sekitar tahun lalu atau sebelumnya.

Saya tidak ingat persis kenapa saya tidak pergi tarawih ke mushola saat itu. Tapi diingatkan oleh anak kecil adalah sebenar-benarnya cambuk. Seharusnya, saya lah yang justru mengajaknya tarawih bersama.

Seperti itulah situasinya, terkadang sebagai orangtua kita menginginkan anak-anak yang soleh dan solehah yang rajin beribadah, tetapi justru secuil kemalasan kita bisa saja jadi hal yang akan dicontohnya. Pada akhirnya, instropeksi diri menjadi sangat penting.

Umumnya, anak-anak di Indonesia belajar berpuasa di bulan Ramadan dengan bertahap. Ketika duduk di bangku taman kanak-kanak biasanya diajari puasa setengah hari. Boleh makan ketika azan Dhuhur berkumandang, setelah itu puasa lagi sampai Maghrib. Metode ini juga saya terapkan pada anak-anak saya.

Ketika beranjak masuk SD, sudah beda lagi. Sebagai orangtua, saya cukup menanyakan apakah si anak sanggup untuk full puasa atau tidak. Jika tidak tentu tak masalah, mungkin yang diperlukan adalah memberikan motivasi lebih.

"Aku bisa kok puasa seharian," jawab si kecil ketika saya menantangnya di awal Ramadan tahun ini.

Syukurlah, sudah sembilan hari berlalu dan si kecil yang masih duduk di bangku kelas 1 SD belum sekalipun bolong puasanya.

"Aku tuh kayak merasa bersalah kalau siang hari mau makan, soalnya kata Pak Guru kalau puasa trus kita makan siang hari, sama saja tidak puasa karena batal," ucapnya.

Sepertinya saya harus berterima kasih kepada Pak Guru itu. Ucapannya benar-benar mengena dan menjadi pemicu semangat untuk berpuasa.

Ilustrasi: widikurniawan
Ilustrasi: widikurniawan

Memang puasa bukan semata perkara menahan makan dan minum saja. Lebih dari itu, manusia dituntut untuk menjaga lisan, menjaga hati dan perbuatan.

Menjadi tugas orang yang lebih dewasa untuk mengajarkan makna puasa kepada anak-anak yang masih belajar berpuasa. Juga menjadi tugas orangtua ketika muncul pertanyaan-pertanyaan menggelitik yang dilontarkan oleh anak-anak.

"Kenapa sih Yah, kok di bulan puasa banyak yang berbagi takjil? Maksudnya apa?"

Pertanyaan ini justru membuat saya merenung. Rupanya bukan anak kecil saja yang belajar memahami makna puasa Ramadan. Untuk menjawab pertanyaan itu berarti saya sebagai orangtua, sebagai orang dewasa, diingatkan juga untuk belajar konsisten melakukan amalan-amalan baik, termasuk soal berbagi kepada sesama.

"Berbagi itu indah, kita harus peduli dengan orang lain, terutama kepada yang membutuhkan. Berbagi nggak hanya di bulan puasa saja karena dengan berbagi dengan ikhlas, maka pintu rezeki bakal terbuka," demikian kira-kira yang bisa saya jelaskan pada anak saya.

Dia hanya mengangguk-angguk mencoba mencerna jawaban saya. Tapi momen itu justru menyadarkan saya bahwa saya pun harus memperlihatkan contoh perbuatan seperti berbagi kepada orang lain. Jadi dia tak hanya melihat orang lain sudi berbagi, sedangkan orangtuanya sendiri tak pernah terlihat mempedulikan orang lain.

Ramadan ini, adalah momen pembelajaran dalam pencarian makna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun