Ketika beranjak masuk SD, sudah beda lagi. Sebagai orangtua, saya cukup menanyakan apakah si anak sanggup untuk full puasa atau tidak. Jika tidak tentu tak masalah, mungkin yang diperlukan adalah memberikan motivasi lebih.
"Aku bisa kok puasa seharian," jawab si kecil ketika saya menantangnya di awal Ramadan tahun ini.
Syukurlah, sudah sembilan hari berlalu dan si kecil yang masih duduk di bangku kelas 1 SD belum sekalipun bolong puasanya.
"Aku tuh kayak merasa bersalah kalau siang hari mau makan, soalnya kata Pak Guru kalau puasa trus kita makan siang hari, sama saja tidak puasa karena batal," ucapnya.
Sepertinya saya harus berterima kasih kepada Pak Guru itu. Ucapannya benar-benar mengena dan menjadi pemicu semangat untuk berpuasa.
Memang puasa bukan semata perkara menahan makan dan minum saja. Lebih dari itu, manusia dituntut untuk menjaga lisan, menjaga hati dan perbuatan.
Menjadi tugas orang yang lebih dewasa untuk mengajarkan makna puasa kepada anak-anak yang masih belajar berpuasa. Juga menjadi tugas orangtua ketika muncul pertanyaan-pertanyaan menggelitik yang dilontarkan oleh anak-anak.
"Kenapa sih Yah, kok di bulan puasa banyak yang berbagi takjil? Maksudnya apa?"
Pertanyaan ini justru membuat saya merenung. Rupanya bukan anak kecil saja yang belajar memahami makna puasa Ramadan. Untuk menjawab pertanyaan itu berarti saya sebagai orangtua, sebagai orang dewasa, diingatkan juga untuk belajar konsisten melakukan amalan-amalan baik, termasuk soal berbagi kepada sesama.
"Berbagi itu indah, kita harus peduli dengan orang lain, terutama kepada yang membutuhkan. Berbagi nggak hanya di bulan puasa saja karena dengan berbagi dengan ikhlas, maka pintu rezeki bakal terbuka," demikian kira-kira yang bisa saya jelaskan pada anak saya.