Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bisnis Thrifting Diberangus, Bagaimana dengan Industri Pakaian KW?

19 Maret 2023   20:13 Diperbarui: 24 Maret 2023   12:43 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu produk KW harga murah di Tokopedia/Tangkapan layar dokumentasi pribadi

Bisnis thrifting atau pakaian bekas impor saat ini benar-benar digencet habis-habisan. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) berulang kali menegaskan bahwa pakaian bekas impor adalah ilegal.

Tak hanya wacana, bahkan beberapa kali diberitakan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membakar pakaian bekas impor bernilai miliaran rupiah di berbagai daerah.

Terakhir, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pakaian bekas impor sangat merugikan industri dalam negeri.

Semula, tindakan tegas pemerintah dinilai hanya sementara saja, bersifat seremonial semata dan selanjutnya bakal menjamur lagi tren bisnis thrifting tersebut. Tetapi setidaknya dalam kurun tujuh bulan terakhir, pelaku usaha thrifting benar-benar tiarap.

Sebuah toko thrifting di dekat tempat tinggal saya bahkan sudah benar-benar tak pernah buka lagi sejak aksi bakar dilakukan oleh Mendag. Padahal semula toko tersebut sangat ramai dikunjungi dan penjualnya pun aktif melakukan live di media sosial untuk menjaring lebih banyak pembeli.

Thrifting adalah istilah kesekian kalinya yang saya kenal. Dulu zaman masih SMA saya mengenalnya dengan istilah "owolan" di daerah asal saya Temanggung. Kemudian mengenal lagi istilah "awul-awul" ketika saya sudah merantau di Yogyakarta.

Hingga saat merantau di Kendari, Sulawesi Tenggara, istilah yang umum dipakai di sana adalah barang "RB", yang konon berasal dari kata "rombeng". Tingkat popularitas pakaian "RB" saat itu begitu luar biasa, karena minimnya pusat perbelajaan dan distro yang menyediakan fashion bersaing baik dari sisi kualitas dan harga.

Bagi penggemar thrifting, pakaian bekas impor dengan merk-merk ternama adalah solusi praktis untuk bisa tampil gaya dengan fashion original dengan harga yang terjangkau. Terkadang bukan karena memaksakan diri untuk menjadi "branded" dalam hal berpakaian, tetapi karena keberadaan fashion lokal tak mampu bersaing dengan baik.

Pakaian lokal KW masih bertebaran

Sekarang gini aja deh, andai seorang remaja dari keluarga pas-pasan hanya punya budget 150 ribu untuk membeli pakaian, ke mana dia harus membelinya?

Uang segitu jelas sangat terbatas untuk mendapatkan produk fashion lokal yang punya nilai "plus". Terlebih bagi kalangan remaja atau anak muda yang lingkungannya karapkali mementingkan gaya dibandingkan hal lain. Namanya juga anak muda, pengennya gaya walau budget pas-pasan.

Memang faktanya masih banyak produk fashion lokal untuk anak muda dengan harga terjangkau. Misal saja kaos dan hoodie di bawah 100 ribu. Tapi coba perhatikan baik-baik bagaimana desain dan merk yang tercantum.

Bisa saja Adidas, Nike, Puma, Under Armour yang tercantum, tapi bisa dipastikan produk tersebut palsu alias KW. Ya, mana ada kaos Nike asli kok harganya 25 ribu rupiah? Belinya di bazar menjelang lebaran pula.

Soal barang fashion KW ini sebenarnya sudah lama ada dan menjamur. Ironisnya, produk-produk tersebut masuk kategori industri lokal.

Lebih ironis lagi jika barang KW tapi justru impor dari negara lain. Ini kerap terjadi pada produk jersey kostum sepak bola KW asal Thailand yang menjamur dan laris manis di mana-mana.

Salah satu produk KW harga murah di Tokopedia/Tangkapan layar dokumentasi pribadi
Salah satu produk KW harga murah di Tokopedia/Tangkapan layar dokumentasi pribadi

Saat ini merk-merk lokal untuk fashion anak muda memang kian hari kian meroket dan menemukan pasarnya, sebut saja Erigo, 3Second, Bloods, Kamengski, Ouval Research, Dagadu, hingga Joger. Tapi merk lokal tersebut juga memiliki masalah yang sama soal produk bajakannya.

Pemilik brand lokal di atas memang harus diakui sebagai pionir yang memiliki kreativitas tersendiri. Mereka berjuang dari awal menelurkan desain fashion yang khas dan berbeda.

Namun, tidak semua industri pakaian lokal memiliki satu hal penting yang berwujud "kreativitas". Satu-satunya kreativitas yang dimiliki adalah meniru produk yang sudah terkenal dan menjualnya dengan harga lebih murah.

Ironisnya justru barang KW inilah yang sangat mudah didapatkan di sekeliling kita. Toko-toko pakaian di pasar, kios-kios di mal kelas menengah, pasar kaget, car free day, hingga bazar-bazar ramadan yang sebentar lagi bakal bermunculan.

Pakaian KW, hingga sepatu dan tas KW, juga sangat mudah ditemukan di marketplace dengan harga yang terkadang tidak masuk akal saking murahnya.

Inilah yang sebenarnya menjadi permasalahan besar industri dalam negeri. Ketika anak-anak muda sempat lari ke thrifting, salah satu alasannya adalah karena mendapatkan pakaian brand lokal yang bisa dibanggakan ternyata lebih susah dibandingkan mencari pakaian KW.

Anak-anak muda saat ini sudah tahu malu ketika mereka mengenakan kaos atau hoodie bertuliskan "Adidas" di dada mereka, tetapi ternyata KW alias bajakan. Bisa-bisa diejek teman sepermainan mereka.

Namun, pasar ini belum tergarap dengan maksimal di seluruh Indonesia karena masih banyak pelaku industri seperti kaos dan sepatu tidak memiliki kemampuan mendesain yang baik sehingga memilih menjadi pembajak desain.

Okelah, anak-anak muda di Bandung bakal lebih mudah mendapatkan produk fashion lokal yang original dengan variasi harga yang masih terjangkau. Tapi di daerah lain? Belum tentu.

Bagaimanapun bisnis thrifting memang wajar apabila dilarang dan diberangus pemerintah. Dari sisi regulasi dan ancaman kesehatan memang masuk akal untuk dilarang.

Namun, mengatasnamakan perlindungan terhadap produksi fashion dalam negeri tidak sepenuhnya tepat jika yang terlindungi justru industri fashion KW atau bajakan. Pelaku industri pakaian yang merintis dari skala UMKM harus terus dibina dan diedukasi soal produk dengan desain bajakan ini.

Memang bukan pekerjaan mudah dibandingkan dengan bakar-bakaran pakaian bekas impor. Tetapi hal itu sangat perlu dilakukan untuk menumbuhkan kebanggaan terhadap produk dalam negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun