Rencana pemberlakuan jalan elektronik berbayar atau electronic road pricing (ERP) di Jakarta, masih menuai polemik.
Terakhir, Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta menyatakan jika ojek online (ojol) dibebaskan dari ketentuan membayar ketika melewati jalur ERP. Itupun setelah kalangan ojol memprotes keras karena menganggap ERP bakal membatasi gerak ojol di jalanan ibu kota.Â
Salah satu pertimbangannya adalah karena ojol dapat disamakan dengan kendaraan angkutan umum berpelat kuning.Â
Oke, mungkin satu masalah terkait ojol ini dianggap telah ada solusinya dengan membebaskan dari kewajiban bayar. Meskipun sebagaimana kabar yang bertebaran di media sosial, ojol tetap menolak ERP bagaimanapun juga. Pengecualian terhadap ojol bisa jadi justru memicu masalah lainnya.Â
Diketahui, layanan ojol selama ini selain membawa penumpang juga melayani pengantaran order makanan dan juga pengiriman barang atau paket.Â
Tentu dirasa tidak adil jika kurir paket atau makanan yang non-ojol justru masih terkena kewajiban bayar saat melewati jalanan ERP.Â
Padahal ojol pun bisa disetting spesialisasinya melalui aplikasi. Mereka tidak melulu ambil penumpang, tapi bisa saja ojol itu sehari-hari berperan sebagai kurir barang layaknya kurir dari jasa ekspedisi.Â
Nah, jika begini mestinya ojol pengantar barang atau makanan mestinya tak lagi sama kategorinya dengan kendaraan umum pelat kuning.
Jika mau adil, rancangan peraturan tentang ERP juga harus membebaskan kendaraan bermotor roda dua milik kurir paket ekspedisi. Akan sangat berdampak bagi pengantaran barang jika para kurir harus menanggung ongkos ketika melewati jalan berbayar.
Bisa jadi berimbas pada keterlambatan pengiriman paket atau bahkan disusul dengan kenaikan tarif pengiriman barang dengan area pengantaran dari dan ke dalam kota Jakarta. Jika begini, maka yang berteriak bukan hanya para kurir paket, melainkan pelaku usaha dan pemilik online shop.
Memang lebih baik jika memang ERP jadi diterapkan, maka sepeda motor mestinya dapat pengecualian untuk membayar. Kalangan pengguna sepeda motor di Jakarta rata-rata adalah para pekerja dan juga pelajar serta mahasiswa.Â
Berbeda dengan kalangan pengguna mobil, terlebih kendaraan mewah, yang kemungkinan besar tak akan beralih ke moda transportasi umum jika ERP diterapkan, bagi pengguna sepeda motor justru rentan beralih ke transportasi umum yang faktanya kondisinya belumlah ideal.
Terkait hal itu sudah pernah diulas di artikel sebelumnya.
Jika pembuat kebijakan khawatir kemacetan justru bertambah karena pengguna kendaraan roda empat beralih ke sepeda motor, maka regulasinya sebaiknya dibatalkan sama sekali atau dibuat lagi pembatasan-pembatasan, misalnya berdasarkan CC sepeda motor atau tahun pembuatan.Â
Memang banyak hal yang saling berbenturan terkait rencana ERP di Jakarta ini. Sebelum regulasi diketok palu, sebaiknya masukan-masukan dari masyarakat tetap didengar sebagai aspirasi, sebab imbasnya bagaimanapun adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.
Cita-cita "mulia" penerapan ERP untuk mengurangi kemacetan Jakarta pada akhirnya hanya akan berimbas ke masyarakat kelas menengah ke bawah yang melewati jalanan berbayar di ibu kota karena terpaksa dalam rangka mencari nafkah.Â
Penerapan kebijakan ERP yang tidak selaras dengan solusi bagi yang terdampak, hanya akan membuat jalanan utama seolah-olah Jakarta tak boleh dilintasi oleh mereka yang masih mikir-mikir soal duit.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H