Beberapa hari belakangan ini Kota Jakarta seolah kian hiruk pikuk, baik di jalanan maupun di dalam transportasi massal. Sebagai pengguna KRL Commuter Line saya merasakan betul bagaimana kepadatan di dalam kereta terasa meningkat.
Jika biasanya saya naik KRL dari Stasiun Bojonggede dalam kondisi kereta masih terasa longgar, tapi belakangan ini kian sulit menentukan posisi berdiri yang ideal. Hal itu berarti ada peningkatan penumpang yang naik dari Stasiun Bogor sebagai awal pemberangkatan dan Stasiun Cilebut yang posisinya berada di tengah antara Bogor dan Bojonggede.
Sudah pasti pula begitu KRL berhenti di stasiun-stasiun berikutnya, bertambah sesak pula di dalam kereta. Istilah yang biasa dipakai pengguna KRL adalah ketika penumpang jadi "pepes" di dalam kereta. Mau sekedar bergerak satu sentimeter saja susahnya minta ampun.
Menjadi drama lagi ketika penumpang dari arah Bogor turun di Stasiun Manggarai untuk transit berpindah kereta ke arah Sudirman atau Tanah Abang. Ratusan penumpang di jam sibuk, akan menunggu kereta dari Bekasi yang sudah pasti dipenuhi "pepes" manusia di dalamnya.
Begitu kereta datang, tak terelakkan lagi bagaimana "battle"Â terjadi antara penumpang yang turun dan penumpang yang memaksa naik. Seperti halnya yang terjadi pada Jumat, 3/2/2023 pagi.
Entah berapa orang yang mencoba merangsek masuk ke kereta yang sudah penuh itu. Saya yang sudah rela ketinggalan satu kereta sebelumnya karena tidak bisa masuk, kini sudah berhasil masuk walau penuh perjuangan.
Masalahnya, orang-orang di belakang saya masih terus mendorong dan memaksa naik. Kondisi tersebut memicu teriakan-teriakan orang di dalam kereta yang merasa tergencet.
"Sudah!! Sudaahh!! Sudah penuh!! Jangan dipaksain!!" teriak seorang perempuan, dan entah di mana posisinya di antara manusia-manusia pejuang rupiah itu.
"Aduuh!! Udah dong jangan maksa naik!!" sahut yang lain.
Jika direnungkan kembali, tak ada yang salah baik yang memaksa naik maupung yang tergencet di dalam kereta. Mereka sama-sama ingin segera sampai ke tempat mencari nafkah.
Kalau tidak memaksa naik, sampai kapan bisa naik KRL? Menunggu kereta berikutnya pasti kondisinya sama persis. Kecuali mau menunggu kereta hingga jam 11 siang, sudah pasti longgar dan bakal memancing surat peringatan dari tempat bekerja jika dilakukan terlalu sering.
Itu realita di KRL Commuter Line, kondisi penambahan penumpang rasa-rasanya juga dialami moda trasnportasi massal lainnya. MRT Jakarta, walau belum pernah sepadat KRL, beberapa waktu belakangan juga kian ramai penumpang.
Saya biasanya nyambung MRT di Dukuh Atas selepas turun dari KRL di Stasiun Sudirman. Ada kecenderungan jumlah penumpang yang naik meningkat di rute yang mengarah ke Lebak Bulus. Soalnya, jika sebelum-sebelumnya saya bebas memilih tempat duduk karena terlalu longgar, kini mau duduk pun harus celingak-celinguk dulu nyari yang kosong.
Bagaimana dengan bus Transjakarta? Hari Jumat itu, seorang rekan mengeluhkan bahwa ia harus menunggu sampai 3 bus lewat baru bisa naik. Biasanya tak sampai ia menunggu selama itu. Maka setali tiga uang dengan KRL, kepadatan bus Transjakarta juga bertambah gila.
Adakah kaitannya kepadatan transportasi massal dengan ERP?
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah merencanakan penerapan kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di 25 ruas jalan. Saat ini aturan ERP masih dalam pembahasan dan belum ada statement resmi soal kapan diberlakukan.
Namun, sempat beredar berita yang menyebutkan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah melakukan uji coba ERP sejak 25 Januari 2023 silam. Belakangan diketahui bahwa berita tersebut adalah hoax dan telah diklarifikasi oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta melalui sejumlah media serta Kominfo.
Jika ditarik benang merah antara kepadatan transportasi massal dengan hoax ERP itu, setidaknya diketahui bahwa memang ada pengguna sepeda motor yang hari-hari ini beralih naik KRL.
"Kok nggak naik motor Pak?"
"Ah, lagi males, lagian katanya lewat Sudirman udah bayar."
Obrolan itu sempat saya dengar ketika menunggu di peron Stasiun Bojonggede beberapa hari lalu.
Walau tidak ada bukti lain yang menunjukkan korelasi meningkatnya kepadatan sejumlah transportasi massal karena adanya kabar hoax ERP itu, tapi setidaknya kita bisa membayangkan bagaimana seandainya kelak ERP di Jakarta benar-benar diberlakukan secara resmi.
Bagi kalangan pengguna mobil mewah memang tak bakalan serta merta pindah naik bus atau kereta dengan risiko peluh bercucuran dan area ketek jadi basah. Mereka rela bayar berapapun tarif jalanan dengan ERP.
Beda lagi dengan pengguna sepeda motor yang nasib serta level ekonominya rata-rata sepadan lah dengan penumpang KRL. Mereka ini rentan beralih ke transportasi publik gara-gara penerapan ERP, itupun sepanjang tarif KRL nggak ikut-ikutan naik pula.
Jika memang ERP kelak dianggap berhasil mengurangi kemacetan, artinya justru "menyiksa" penumpang transportasi massal dengan kepadatan yang di luar nalar dan tidak manusiawi. Kapasitas dan ketersediaan transportasi massal belumlah ideal dan tidak bisa mengejar pertumbuhan jumlah penduduk yang teramat pesat.
ERP bukan solusi untuk mengatasi kemacetan, karena titik kepadatan manusia bakal beralih ke stasiun-stasiun dan halte-halte bus, serta berpindah pula ke jalanan lain non-ERP.
Saat ini bahkan sudah bukan lagi waktu yang tepat untuk berbicara "yuk gunakan transportasi umum" untuk mengurangi kemacetan. Justru kami-kami ini pengguna setia transportasi umum yang seharusnya berteriak "stop berpindah ke transportasi umum, kedatangan kalian hanya menambah penderitaan kami!"
Terdengar egois, tapi biarin aja. Ya nggak ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H