"Kok nggak naik motor Pak?"
"Ah, lagi males, lagian katanya lewat Sudirman udah bayar."
Obrolan itu sempat saya dengar ketika menunggu di peron Stasiun Bojonggede beberapa hari lalu.
Walau tidak ada bukti lain yang menunjukkan korelasi meningkatnya kepadatan sejumlah transportasi massal karena adanya kabar hoax ERP itu, tapi setidaknya kita bisa membayangkan bagaimana seandainya kelak ERP di Jakarta benar-benar diberlakukan secara resmi.
Bagi kalangan pengguna mobil mewah memang tak bakalan serta merta pindah naik bus atau kereta dengan risiko peluh bercucuran dan area ketek jadi basah. Mereka rela bayar berapapun tarif jalanan dengan ERP.
Beda lagi dengan pengguna sepeda motor yang nasib serta level ekonominya rata-rata sepadan lah dengan penumpang KRL. Mereka ini rentan beralih ke transportasi publik gara-gara penerapan ERP, itupun sepanjang tarif KRL nggak ikut-ikutan naik pula.
Jika memang ERP kelak dianggap berhasil mengurangi kemacetan, artinya justru "menyiksa" penumpang transportasi massal dengan kepadatan yang di luar nalar dan tidak manusiawi. Kapasitas dan ketersediaan transportasi massal belumlah ideal dan tidak bisa mengejar pertumbuhan jumlah penduduk yang teramat pesat.
ERP bukan solusi untuk mengatasi kemacetan, karena titik kepadatan manusia bakal beralih ke stasiun-stasiun dan halte-halte bus, serta berpindah pula ke jalanan lain non-ERP.
Saat ini bahkan sudah bukan lagi waktu yang tepat untuk berbicara "yuk gunakan transportasi umum" untuk mengurangi kemacetan. Justru kami-kami ini pengguna setia transportasi umum yang seharusnya berteriak "stop berpindah ke transportasi umum, kedatangan kalian hanya menambah penderitaan kami!"
Terdengar egois, tapi biarin aja. Ya nggak ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H