Jika direnungkan kembali, tak ada yang salah baik yang memaksa naik maupung yang tergencet di dalam kereta. Mereka sama-sama ingin segera sampai ke tempat mencari nafkah.
Kalau tidak memaksa naik, sampai kapan bisa naik KRL? Menunggu kereta berikutnya pasti kondisinya sama persis. Kecuali mau menunggu kereta hingga jam 11 siang, sudah pasti longgar dan bakal memancing surat peringatan dari tempat bekerja jika dilakukan terlalu sering.
Itu realita di KRL Commuter Line, kondisi penambahan penumpang rasa-rasanya juga dialami moda trasnportasi massal lainnya. MRT Jakarta, walau belum pernah sepadat KRL, beberapa waktu belakangan juga kian ramai penumpang.
Saya biasanya nyambung MRT di Dukuh Atas selepas turun dari KRL di Stasiun Sudirman. Ada kecenderungan jumlah penumpang yang naik meningkat di rute yang mengarah ke Lebak Bulus. Soalnya, jika sebelum-sebelumnya saya bebas memilih tempat duduk karena terlalu longgar, kini mau duduk pun harus celingak-celinguk dulu nyari yang kosong.
Bagaimana dengan bus Transjakarta? Hari Jumat itu, seorang rekan mengeluhkan bahwa ia harus menunggu sampai 3 bus lewat baru bisa naik. Biasanya tak sampai ia menunggu selama itu. Maka setali tiga uang dengan KRL, kepadatan bus Transjakarta juga bertambah gila.
Adakah kaitannya kepadatan transportasi massal dengan ERP?
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah merencanakan penerapan kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di 25 ruas jalan. Saat ini aturan ERP masih dalam pembahasan dan belum ada statement resmi soal kapan diberlakukan.
Namun, sempat beredar berita yang menyebutkan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah melakukan uji coba ERP sejak 25 Januari 2023 silam. Belakangan diketahui bahwa berita tersebut adalah hoax dan telah diklarifikasi oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta melalui sejumlah media serta Kominfo.
Jika ditarik benang merah antara kepadatan transportasi massal dengan hoax ERP itu, setidaknya diketahui bahwa memang ada pengguna sepeda motor yang hari-hari ini beralih naik KRL.