Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Naiklah KRL Commuter Line Setiap Hari Sebelum Menaikkan Tarifnya

4 Januari 2023   15:33 Diperbarui: 4 Januari 2023   17:00 1839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepadatan KRL di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)

KRL Commuter Line memang identik sebagai moda transportasi massal andalan kelas menengah ke bawah. Seolah ada stigma dan pandangan agak lain ketika seseorang tiap hari naik KRL. 

"Ooh naik KRL tiap hari..." 

Inilah yang kerap saya terima, dari pandangan yang seketika berubah terkesan meremehkan hingga "ooh.." yang panjang ketika saya menjawab basa-basi soal naik apa ke kantor. 

Walaupun pada kenyataannya KRL kian hari jadi alternatif bagi mereka yang semula berangkat dan pulang kerja naik mobil pribadi, tapi stigma kelas bawah masih terasa melekat. 

Pernah juga saya mendengar obrolan bahwa tidak seharusnya seseorang beralih naik KRL karena sudah terbiasa naik mobil diantar sopir pribadi.

"Ibu jangan lah naik kereta, nggak level Bu, desak-desakan gitu kok..."

Speechless saya mendengar obrolan seperti itu.

KRL selama ini identik dengan kelas menengah ke bawah (foto by widikurniawan)
KRL selama ini identik dengan kelas menengah ke bawah (foto by widikurniawan)

Kesenjangan kelas ini seolah juga dimainkan melalui wacana pembedaan tarif bagi penumpang kaya dan miskin. Sebuah wacana yang terlanjur bergulir bak bola panas dan meresahkan bagi pengguna setia KRL Commuter Line.

Namun, saya yakin ada pesan dan gaya komunikasi yang gagal tersampaikan dengan baik di sini. Kaya dan miskin yang dimaksudkan sebenarnya adalah soal mampu dan tidak mampu. 

Okelah, gampangnya istilah miskin sama dengan tidak mampu, dan kaya sama dengan mampu. Tetapi faktanya yang dianggap mampu belum tentu kaya dan yang dilabeli miskin belum tentu tidak mampu.

Inilah problemnya, mayoritas penumpang KRL dipastikan masyarakat kelas menengah yang dianggap mampu, tapi kalau dianggap kaya ya nanti dulu dong.

Penumpang KRL rata-rata adalah pencari nafkah di ibu kota (foto by widikurniawan)
Penumpang KRL rata-rata adalah pencari nafkah di ibu kota (foto by widikurniawan)

Wajar jika akhirnya penumpang harian banyak yang ketar-ketir. Mereka enggan menjadi "kaya" mendadak, karena faktanya mereka naik KRL pun terpaksa karena kendaraan tak punya dan penghasilan tak seberapa. Kelas menengah tipis-tipis yang rentan terhempas masuk lagi ke golongan miskin.

"Data bansos aja nggak bener, kok naik kereta mau dibikin kaya miskin?" gerutuan dan obrolan seperti ini setidaknya pernah saya dengar dua kali di area stasiun sejak wacana tarif baru digulirkan.

Para pembuat kebijakan setidaknya juga merasakan dong bagaimana rasanya naik KRL Commuter Line di jam sibuk. Percuma jika kebijakan berdasarkan asumsi dan laporan dari bawah yang belum tentu riil di lapangan.

Jangan hanya saat ada seremonial tertentu saja sehingga seolah-olah naik KRL di gerbong yang lowong. Nggak seru ah kalau nggak desak-desakan dan sikut-sikutan.

Mereka bisa mendengar dan melihat langsung bagaimana profil para penumpang setiap harinya. Tahu bagaimana rasanya transit di Stasiun Manggarai yang penuh tantangan bagaikan permainan game. Meleng dikit bisa kejeblos ke rel. Bengong dikit bisa terdorong orang, dan melamun dikit bisa kecopetan.

Masih banyak permasalahan seperti jadwal amburadul, alur transit yang aneh di Manggarai, AC mati di dalam kereta sehingga jadi mirip sauna, hingga kena prank fasilitas eskalator dan lift yang kerap mati.

Pengambil kebijakan jangan berpikir sektoral

Jika alasan menaikkan tarif khusus bagi yang kaya atau mampu demi perbaikan layanan dan fasilitas, artinya kebijakan masih pakai kaca mata sektoral. Apa gunanya banyak orang pintar dan ahli di Indonesia jika tidak digandeng mencari solusi bersama? DPR, akademisi, pakar, dan lain-lain apa nggak bisa menawarkan solusi tanpa menghilangkan subsidi?

Masyarakat pengguna KRL butuh kebijakan yang memang didasarkan pada fakta di lapangan. KRL adalah moda transportasi umum yang menopang berbagai sektor lain, jadi sifatnya bukan barang atau jasa konsumsi yang harus dijauhkan dari subsidi. 

KRL bukan seperti listrik, BBM, dan gas yang kalau subsidi hilang konsumennya bisa melakukan langkah-langkah penghematan.

Coba saja hentikan KRL selama seminggu, apa yang terjadi? Pasti perusahan-perusahaan, perkantoran swasta dan pemerintah, hingga UMKM bakal teriak karena pekerja dan karyawannya terganggu saat berangkat kerja.

Naik moda lain? Haha... Silakan mencari moda alternatif ke Jakarta dari pinggiran Bogor. Bus teramat jarang dan angkot sama sekali tak ada. Kalau mau ke Jakarta ya harus naik kendaraan pribadi, taksi atau ojek. Soal ongkos silakan bayangkan sendiri betapa tidak ramah di kantong bagi yang terbiasa tiap hari naik KRL.

Efek keberadaan KRL memang luar biasa. Andai separuh saja penumpang KRL saat ini balik lagi naik kendaraan pribadi, pasti bakal macet ampun-ampunan di Jakarta. Sudah begitu polusi udara bakal bertambah akibat pembakaran BBM, serta jalanan yang rentan rusak serta trotoar bagus yang dilibas pelanggar lalu lintas bakal kian banyak.

Pengguna transportasi massal adalah pahlawan

Jadi, sebaik-baiknya subsidi untuk rakyat, sudah tepat jika pemerintah menggelontorkan subsidi bagi masyarakat yang sudi bersusah payah naik transportasi massal. 

Subsidi untuk ini tak boleh membedakan kaya dan miskin, karena sejatinya mereka sama-sama pahlawan negara yang tidak memakan subsidi BBM dan menyumbang polusi serta kerusakan jalan.

Bahkan bila perlu berilah anggaran subisidi sebesar-besarnya hingga tarifnya gratis untuk KRL dan transportasi massal lainnya. Naik KRL gratis tentu membahagiakan banyak pihak.

Ketika pengeluaran bulanan transportasi aman, setidaknya bahagia pula pekerja dan karyawan, perusahan dan perkantoran pun ikut hepi karena terdongkrak kinerjanya. Sektor ekonomi bakal turut cerah menikmati efeknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun