Okelah, gampangnya istilah miskin sama dengan tidak mampu, dan kaya sama dengan mampu. Tetapi faktanya yang dianggap mampu belum tentu kaya dan yang dilabeli miskin belum tentu tidak mampu.
Inilah problemnya, mayoritas penumpang KRL dipastikan masyarakat kelas menengah yang dianggap mampu, tapi kalau dianggap kaya ya nanti dulu dong.
Wajar jika akhirnya penumpang harian banyak yang ketar-ketir. Mereka enggan menjadi "kaya" mendadak, karena faktanya mereka naik KRL pun terpaksa karena kendaraan tak punya dan penghasilan tak seberapa. Kelas menengah tipis-tipis yang rentan terhempas masuk lagi ke golongan miskin.
"Data bansos aja nggak bener, kok naik kereta mau dibikin kaya miskin?" gerutuan dan obrolan seperti ini setidaknya pernah saya dengar dua kali di area stasiun sejak wacana tarif baru digulirkan.
Para pembuat kebijakan setidaknya juga merasakan dong bagaimana rasanya naik KRL Commuter Line di jam sibuk. Percuma jika kebijakan berdasarkan asumsi dan laporan dari bawah yang belum tentu riil di lapangan.
Jangan hanya saat ada seremonial tertentu saja sehingga seolah-olah naik KRL di gerbong yang lowong. Nggak seru ah kalau nggak desak-desakan dan sikut-sikutan.
Mereka bisa mendengar dan melihat langsung bagaimana profil para penumpang setiap harinya. Tahu bagaimana rasanya transit di Stasiun Manggarai yang penuh tantangan bagaikan permainan game. Meleng dikit bisa kejeblos ke rel. Bengong dikit bisa terdorong orang, dan melamun dikit bisa kecopetan.
Masih banyak permasalahan seperti jadwal amburadul, alur transit yang aneh di Manggarai, AC mati di dalam kereta sehingga jadi mirip sauna, hingga kena prank fasilitas eskalator dan lift yang kerap mati.
Pengambil kebijakan jangan berpikir sektoral
Jika alasan menaikkan tarif khusus bagi yang kaya atau mampu demi perbaikan layanan dan fasilitas, artinya kebijakan masih pakai kaca mata sektoral. Apa gunanya banyak orang pintar dan ahli di Indonesia jika tidak digandeng mencari solusi bersama? DPR, akademisi, pakar, dan lain-lain apa nggak bisa menawarkan solusi tanpa menghilangkan subsidi?