KRL Commuter Line memang identik sebagai moda transportasi massal andalan kelas menengah ke bawah. Seolah ada stigma dan pandangan agak lain ketika seseorang tiap hari naik KRL.Â
"Ooh naik KRL tiap hari..."Â
Inilah yang kerap saya terima, dari pandangan yang seketika berubah terkesan meremehkan hingga "ooh.." yang panjang ketika saya menjawab basa-basi soal naik apa ke kantor.Â
Walaupun pada kenyataannya KRL kian hari jadi alternatif bagi mereka yang semula berangkat dan pulang kerja naik mobil pribadi, tapi stigma kelas bawah masih terasa melekat.Â
Pernah juga saya mendengar obrolan bahwa tidak seharusnya seseorang beralih naik KRL karena sudah terbiasa naik mobil diantar sopir pribadi.
"Ibu jangan lah naik kereta, nggak level Bu, desak-desakan gitu kok..."
Speechless saya mendengar obrolan seperti itu.
Kesenjangan kelas ini seolah juga dimainkan melalui wacana pembedaan tarif bagi penumpang kaya dan miskin. Sebuah wacana yang terlanjur bergulir bak bola panas dan meresahkan bagi pengguna setia KRL Commuter Line.
Namun, saya yakin ada pesan dan gaya komunikasi yang gagal tersampaikan dengan baik di sini. Kaya dan miskin yang dimaksudkan sebenarnya adalah soal mampu dan tidak mampu.Â